1 Desember, Sejarah Pengakuan Papua yang Dicap HUT OPM



Jakarta, Indonesia —

1 Desember kerap dikaitkan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Organisasi Papua Merdeka (OPM). Fakta sejarah menunjukkan hal tersebut tidaklah tepat, meskipun erat kaitannya dengan upaya Papua memerdekakan diri dari Indonesia.

Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk menjelaskan, momentum 1 Desember dianggap sebagai Hari Kemerdekaan bagi rakyat Papua sejalan dengan pengakuan kemerdekaan oleh pemerintahan Belanda pada 1961 silam.

“Karena hari itu (1 Desember) merupakan hari di mana Bangsa Papua dikenalkan kepada dunia internasional sebagai bangsa yang siap merdeka. Hal itu yang kemudian terus diperjuangkan untuk diakui selama 60 tahun,” ujarnya kepada Indonesia.com, Jumat (26/11).

Markus mengatakan inisiasi kemerdekaan tersebut lahir dari manifesto politik yang dibuat oleh Anggota Komite Nasional yang terdiri dari Nicholaas Jouwe, E.J. Bonay, Nicholaas Tanggahma, dan F. Torey, pada 19 Oktober 1961. Dalam manifesto tersebut, Komite Nasional mendesak pemerintahan Belanda memberikan hak bagi Papua untuk berdiri sendiri sebagai bangsa merdeka.

Selain itu, Komite Nasional juga telah menetapkan bahwasanya nama Papua Barat nantinya akan digunakan setelah mendapatkan kemerdekaan dari Pemerintahan Belanda. Untuk masyarakatnya sendiri, Komite Nasional menamakannya sebagai Bangsa Papua.

Sementara nyanyian religi berjudul “Hai tanahku Papua” dijadikan Komite Nasional sebagai lagu kebangsaan Papua Barat. Kemudian untuk bendera kebangsaan, bakal menggunakan simbol bintang kejora.

“Kami bangsa Papua menuntut untuk mendapatkan tempat kami sendiri. Sama seperti bangsa-bangsa merdeka di antara bangsa-bangsa itu kami bangsa Papua ingin hidup sentosa dan turut memelihara perdamaian dunia,” demikian bunyi manifesto tersebut.

Seperti Indonesia, Markus mengatakan inisiasi kemerdekaan Papua Barat juga diakui oleh pemerintahan Belanda. Momentum pengakuan tersebut jatuh tepat pada 1 Desember 1961.

Peristiwa itu kemudian dirayakan masyarakat dengan berkumpul di kantor-kantor Hoofd van Plaatselijk (HPB) atau pemerintahan daerah untuk mengibarkan Bendera Papua Barat Bintang Kejora untuk pertama kalinya di samping Bendera Belanda.

Inisiasi kemerdekaan tersebut kemudian direspons cepat oleh Pemerintah Indonesia. Presiden saat itu, Sukarno, langsung mengeluarkan maklumat Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 dengan menugaskan Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima dalam penyerangan terhadap Belanda dan pejuang kemerdekaan Papua Barat.

Markus menuturkan, upaya kemerdekaan Papua Barat kemudian terganjal oleh perjanjian New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Menurutnya, perjanjian tersebut dibuat tanpa pelibatan masyarakat asli Papua.

“Akibatnya PBB–melalui Badan pemerintahan sementara UNTEA–mengambil alih Papua Barat pada 1 Oktober 1962. Kemudian, pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan administrasi Papua Barat kepada Indonesia,” kata penulis buku Mati atau Hidup, Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua.

“Penyerahan administrasi yang seharusnya dilakukan untuk proses kemerdekaan ini yang kemudian disalahartikan Pemerintah Indonesia sebagai pengembalian Papua Barat kepada Indonesia,” imbuh Markus.

Sejak saat itu, Markus mengatakan, muncul berbagai gerakan masyarakat yang menyuarakan kemerdekaan dan menolak pengembalian kepada Indonesia. Gerakan-gerakan ini menurutnya, kemudian dicap oleh pemerintah sebagai kelompok OPM.

Melalui pengerahan militer di Bumi Cendrawasih, ia mengatakan pemerintah mulai membatasi kegiatan-kegiatan masyarakat setempat. Kegiatan protes ataupun menyuarakan pendapat menolak bergabung dengan Indonesia kerap berhadapan dengan intimidasi dan kekerasan.

Bahkan menurut Markus, pada periode itu, tidak jarang kepala suku maupun pihak-pihak yang diduga terafiliasi dengan OPM kemudian ditangkap oleh militer Indonesia. Pemberontakan kemudian muncul pertama kali pada 28 Juli 1965, ditandai dengan penyerangan barak pasukan Indonesia di Batalyon 751 (Brawijaya).

Semenjak saat itu, kata Markus, serangan militer Indonesia kerap mendapatkan perlawanan dari pihak OPM.

“Pemberontakan dilakukan setelah ada pertemuan tokoh-tokoh pada 26 Juli 1965. Pemimpinnya Johan Ariks, Ferry Awom, dan Mandatjan bersaudara (Lodwick dan barren),” jelasnya.

Hal tersebut kemudian berlanjut dan memuncak kala Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 tidak dijalankan dengan sistem satu suara per orang, yang diakui secara internasional. Melainkan menggunakan sistem perwakilan yang berujung pada suara bulat bergabung dengan Indonesia.

Dua tahun berselang, tepatnya pada 1 Juli 1971, Seth Jafet Rumkorem mantan anggota TNI-AD Kodam Diponegoro memproklamasikan pemerintahan Papua Barat di Markas Victoria (Mavik), Jayapura. Markus mengatakan, susunan kabinet sementara dan konstitusi Sementara Republik Papua Barat juga telah diumumkan dan ditetapkan secara bersamaan.

Sayangnya, terjadi perpecahan di tubuh pemerintahan Rumkorem. Jacob Prai yang sebelumnya mendukung Rumkorem memutuskan untuk hengkang pada Maret 1976, dan mendirikan kelompok OPM baru pada Desember tahun yang sama.

“Di situlah akar perpecahan terjadi, dan akhirnya beberapa kelompok gerilyawan muncul sendiri-sendiri dengan masing-masing pemimpinnya. Jadi peristiwa perayaan 1 Desember itu murni untuk merayakan cikal-bakal negara Papua yang telah diumumkan oleh Belanda. Bukan pada kelompok-kelompok pembebasan,” terang Markus.

Artikel bersambung ke halaman berikutnya: Gerakan Papua Merdeka Tanpa Komando Tunggal.


Gerakan Papua Merdeka Tanpa Komando Tunggal


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *