3 dari 4 Anak Gadis di Inggris Disebut Korban Pornografi via Medsos



Jakarta, Indonesia —

Sebuah studi yang dilakukan akademisi Inggris memaparkan tiga dari empat anak perempuan pernah menerima konten berbau pornografi atau mendapati gambar mereka dibagikan tanpa persetujuan di media sosial.

Studi yang melibatkan 480 anak muda berusia 12-18 tahun itu menyimpulkan bahwa lebih dari setengah anak-anak korban pornografi di media sosial itu tidak melakukan apa-apa. Survei itu dilakukan oleh University College London dan University of Kent.

Sebanyak 25 persen anak memberi tahu teman mereka soal apa yang mereka alami, tetapi hanya 5 persen yang memberi tahu orang tua mereka dan hanya 2 persen sampai melaporkannya ke pihak sekolah.

Sementara itu, sebanyak tiga perempat dari 88 anak perempuan yang masuk dalam kelompok fokus mengatakan pernah menerima gambar alat kelamin laki-laki tanpa persetujuannya melalui aplikasi.

Mereka mengatakan hampir setengah dari pelecehan itu datang dari pria dewasa, termasuk orang dengan identitas palsu.

Meski begitu, puluhan anak perempuan itu juga menerima pelecehan via daring dari anak-anak laki dengan rentang usia sebaya.

Survei juga memaparkan lebih dari 50 persen gadis remaja yang telah menerima gambar porno eksplisit tanpa persetujuan tak pernah melaporkan kasusnya tersebut kepada orang tua, pihak berwenang, apalagi perusahaan yang terlibat.

Ditanya mengapa anak-anak tersebut tak melaporkannya, sekitar sepertiga dari total 480 anak itu merasa pelaporan tidak berguna.

“Saya rasa pelaporan tidak berhasil,” jawaban salah satu anak dalam survei tersebut seperti dilansir The Guardian.

Hanya 17 persen dari anak-anak perempuan itu menerima konten seksual yang tak diinginkan dan melaporkannya kepada platform media sosial terkait.

Salah satu penulis survei tersebut, profesor Jessica Ringrose dari UCL Institute of Education, mengatakan kaum muda di Inggris menghadapi krisis kekerasan seksual online.

“Meskipun anak-anak muda ini, khususnya anak perempuan, mengatakan bahwa mereka merasa jijik, malu dan bingung tentang pengiriman dan penerimaan gambar yang tidak sesuai dengan kesepakatan, mereka jarang mau membicarakan pengalaman online mereka karena takut menyalahkan korban dan khawatir bahwa pelaporan akan membuat masalah. lebih buruk,” ucap Ringrose.

“Kami berharap survei ini memungkinkan kita semua untuk mengidentifikasi dengan lebih baik kapan dan bagaimana berbagi gambar menjadi pelecehan dan pelecehan seksual digital dan menyebarkan pesan bahwa, meskipun pengiriman dan pembagian gambar seksual secara non-konsensual mungkin umum dan terasa normal, itu adalah sangat berbahaya,” ucapnya menambahkan.

Survei ini pun memicu sorotan terhadap fungsi teknologi dan akuntabilitas minim dari platform media sosial seperti contohnya Instagram dalam memerangi pelecehan dan pornografi terhadap anak-anak.

Para pemuda juga cenderung hanya memblokir pengirim daripada melaporkan aksinya tersebut kepada pihak berwenang.

Seorang juru bicara Meta, perusahaan induk yang mengoperasikan Instagram, mengatakan keselamatan kaum muda yang menggunakan aplikasi-aplikasinya adalah “prioritas utama”.

“Jika ada orang yang dikirimi gambar eksplisit yang tidak diminta, kami sangat menganjurkan mereka untuk melaporkannya kepada kami dan polisi,” kata juru bicara itu.

Seorang juru bicara Snapchat juga mengatakan akan selalu ada orang yang mencoba menghindari sistem keamanannya terutama terkait praktik pornografi.

“Tetapi kami menyediakan alat pelaporan dalam aplikasi yang mudah dan memiliki tim yang berdedikasi untuk membangun lebih banyak fitur, termasuk fitur baru bagi orang tua, demi menjaga keamanan komunitas kami,” papar Snapchat.

(rds)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *