3 Penyebab Seseorang Jadi Toxic



Jakarta, Indonesia —

Racun alias toxic berarti unsur yang berbahaya dan mematikan. Ingat kasus kopi sianida? Secangkir kopi berubah jadi kopi mematikan karena dibubuhi sianida yang memiliki sifat racun. Namun ternyata racun pun bisa dilekatkan pada seseorang atau bisa disebut ‘toxic people‘.

Toxic people atau seorang dengan kepribadian toksik membawa pengaruh buruk buat orang lain lewat tindakan, tingkah laku maupun kata-kata mereka.

Menurut Denrich Suryadi, psikolog senior di Morphosa sekaligus dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, layaknya makanan beracun yang menimbulkan sakit sampai meninggal, orang yang toksik tanpa sadar membawa dampak negatif buat sekitarnya.

“Mereka mengakibatkan banyak konflik, stres, ketidaknyamanan, mungkin ada luka secara emosional, fisik. Intinya mereka ini membuat hidup kita enggak akan lebih baik, bahkan merugikan,” kata Denrich saat dihubungi Indonesia.com, Jumat (10/12).

Lalu, kenapa ya ada orang yang bisa menebar ‘racun’ dan bawa dampak negatif?

Berikut tiga penyebab yang membuat orang menjadi toksik atau toxic.

1. Masalah pribadi

Orang yang toksik biasanya masalah utamanya berasal dari masalah pribadi. Kemungkinan ada luka atau trauma yang tidak pernah dipulihkan, diurus, hingga ujung-ujungnya menebar energi negatif (negative vibes) buat orang lain.

Denrich menambahkan, persoalan dengan kesehatan mental juga bisa memungkinkan orang jadi toksik. Kemudian orang yang toksik ini menularkan ‘racunnya’ ke orang lain sehingga menimbulkan masalah kesehatan mental.

Dampaknya orang yang berinteraksi dengan orang toksik ini akan mengalami cemas berlebih, stres parah, hingga menunjukkan gejala depresi.

“Apa nanti masalah mental jadi racun ke orang lain atau cari pertolongan? Kalau cari pertolongan, [penyebaran racun] setop sampai situ,” imbuhnya.

2. Gangguan kepribadian

Ada kemungkinan seseorang mengalami gangguan kepribadian (personality disorder). Menurut Mayo Clinic, gangguan kepribadian adalah jenis gangguan mental di mana orang memiliki pola pikir, fungsi dan perilaku kaku dan tidak sehat.

Orang dengan gangguan kepribadian sulit memahami dan terhubung dengan orang maupun situasi.

Andri, psikiater di Klinik Psikosomatik OMNI Hospital Alam Sutera, mengatakan gangguan kepribadian ini beragam misal kepribadian narsistik, ambang, paranoid, dependent, dan avoidant.

“Saya praktik, paling sering menemukan kepribadian ambang. Dia erat hubungannya dengan depresi dan gangguan bipolar. Biasanya yang mengalami perempuan usia muda. Perasaan yang sering timbul tidak berdaya kalau ditinggal sendirian, tidak punya seseorang yang mendukung, mengalami self harm,” jelas Andri saat dihubungi pada Kamis (9/12).

Masalah gangguan kepribadian ini sebenarnya proses yang sudah ada sebelumnya tetapi baru terlihat setelah usia 18 tahun. Saat interaksi dengan orang lain makin intens, timbul masalah.

Hanya orang yang diajak interaksi yang merasakan masalah, sedangkan orang dengan gangguan kepribadian tidak akan merasakan masalah berarti.

3. Pola asuh keluarga

Mira Amir, psikolog keluarga, berpendapat seseorang bisa toksik akibat pengaruh pola asuh orang tua atau keluarga. Kemudian ini dibarengi dengan lingkungan tempat bertumbuh misal, seorang yang tumbuh di lingkungan yang keras bisa tumbuh jadi pribadi yang keras terhadap diri sendiri juga orang lain.

Secara garis besar ada 4 tipe pola asuh yakni, otoriter (authoritarian parenting), otoritatif (authoritative parenting), permisif (permissive parenting) dan tidak ada keterlibatan orang tua (uninvolved parenting). Pola asuh otoriter berarti anak diharapkan mengikuti aturan orang tua yang ketat. Pola asuh permisif berarti orang tua terus mengikuti keinginan anak.

Kemudian pola asuh otoritatif atau demokratis berarti orang tua mendorong anak untuk maju dan tetap mendukung saat anak gagal. Terakhir pola asuh tanpa keterlibatan orang tua atau orang tua lalai, di sini orang tua tidak menuntut, tidak responsif atau bahkan membiarkan anak.

“Yang otoriter itu yang pertama [membuat seorang jadi toksik]. Orang tua meminta anak mengerjakan apa yang mereka omongkan, anak enggak ada kesempatan buat ngomong. Orang tua cenderung enggak mendengarkan, karena gimana mau mendengarkan? Komunikasinya satu arah,” kata Mira saat dihubungi secara terpisah.

(agn/agn)

[Gambas:Video ]







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *