67,4 Persen Hutan di 3 Provinsi Dikorbankan



Jakarta, Indonesia —

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan mengkritik ambisi pemerintah pusat yang ingin menjadi produsen nikel terbesar di dunia justru telah menimbulkan berbagai dampak ekologis yang cukup besar.

Ambisi pemerintah untuk menjadi produsen nikel terbesar di dunia dengan memanfaatkan isu transisi energi ke energi baru terbarukan yang ramah lingkungan telah membuat masifnya ekspansi industri pertambangan tersebut yang masif dimulai sejak disahkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba.

Berdasarkan catatan Walhi, di Pulau Sulawesi saat ini setidaknya telah terbit 295 Izin Usaha Pertambangan untuk komoditas nikel yang terbagi di 3 provinsi yakni, di Sulawesi Selatan, Tengah, dan Tenggara.

“Keseluruhan konsesi pertambangan dengan komoditas nikel tersebut menguasai 690.442 hektare lahan atau sama dengan 67,4 persen dari total luas tutupan hutan hasil klasifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang berada di tiga provinsi tersebut,” papar Direktur Walhi Sulsel, Muhammad Al-Amin secara virtual, Senin (27/12).

Amin menerangkan masifnya pemberian izin bagi perusahaan tambang khususnya pertambangan nikel di Pulau Sulawesi itu menimbulkan kerusakan hutan atau deforestasi, hingga pencemaran di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

“Kebutuhan akan lahan yang luas dari industri pertambangan nikel ini pun dipermudah oleh pemerintah. Indonesia dengan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan, baik di kawasan hutan produksi hingga kawasan hutan lindung yang selama ini terus dijaga kelestariannya oleh masyarakat adat dan lokal,” katanya.

Berdasarkan kajian Walhi Region Sulawesi, Amin menjelaskan di Pulau Sulawesi terdapat 74 izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 48.621,98 hektare. Sementara di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, telah diterbitkan 3 IPPKH kepada 3 perusahaan tambang nikel oleh kementerian lingkungan hidup dan kehutanan RI seluas 9.711,77 hektare.

“Kebutuhan akan lahan yang luas dari industri pertambangan khususnya nikel di Sulawesi harus mengorbankan hutan yang sangat luas. Tentu hal tersebut sama dengan pemerintah mengorbankan fungsi ekosistem hutan yang sangat besar dan esensial bagi masyarakat, hanya untuk mempermudah pemilik modal atau perusahaan tambang mengeksploitasi nikel di Sulawesi dan meraup keuntungan yang fantastis,” ungkapnya.

Deforestasi di Luwu Timur

Walhi juga mencatat aktivitas pertambangan nikel di Luwu Timur, Sulawesi selatan dalam satu dekade terakhir mendorong deforestasi yang sangat luas pada wilayah-wilayah yang masuk dalam zona lingkar tambang.

Amin menyebutkan dalam rentan waktu sejak 2016 hingga 2020 perubahan tutupan hutan lahan kering primer pada wilayah konsesi pertambangan di Luwu Timur telah berkurang sebesar 782,30 hektar.

“Perusakan kawasan hutan tidak berhenti sebatas penurunan tutupan hutan primer. Meski telah dilindungi oleh undang-undang, masyarakat adat, tapi deforestasi akibat penambangan nikel kian meluas dari tahun ke tahun,” imbuhnya.

Sementara itu, di sisi lain, Amin mengatakan negara sangat sulit untuk mengadili para pelaku kejahatan lingkungan. Amin mencontohkan pada tahun 2020 lalu, empat orang pimpinan PT Vale Indonesia diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) berdasarkan putusan nomor 47 PK/Pid.Sus/2020 atas perambahan kawasan hutan lindung, dan diganjar dengan hukuman hanya 2 tahun penjara dengan denda Rp5 miliar.

“Namun, putusan itu harus melalui proses yang begitu panjang sejak sidang pertama pada tahun 2011 lalu. Kondisi tersebut menunjukkan betapa sulitnya negara
mengadili pelaku kejahatan lingkungan walau disertai dengan bukti-bukti yang sangat jelas,” katanya.

(yla/kid)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *