Menimbang Ulang Keberadaan Menwa di Kampus Indonesia



Jakarta, Indonesia —

Kegiatan Resimen Mahasiswa (Menwa) di sejumlah kampus berujung maut. Tiga mahasiswa dari tiga kampus berbeda meninggal dunia usai mengikuti kegiatan Menwa beberapa waktu belakangan.

Seiring kematian para mahasiswa itu, desakan dari elemen kampus agar Menwa dibubarkan pun mencuat bahkan ke tingkat nasional.

Tiga kasus kematian anggota Menwa di tiga kampus berbeda itu adalah:

Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Nailah Khalisah, meninggal dunia usai mengikuti kegiatan pendidikan dasar (diksar) pada 1 sampai 4 April 2021.

Berikutnya, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Gilang Endi Saputra. Ia meninggal dunia usai mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) di Karangpandang, Kabupaten Karanganyar pada 24 Oktober 2021.

Ketiga, mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) Fauziyah Nabilah, meninggal dunia setelah mengikuti kegiatan pembaretan Menwa pada 25 September 2021.

Merespons rangkaian peristiwa itu, Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda meminta Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) membekukan kegiatan diksar Menwa di semua kampus.

“Kemendikbudristek, baiknya melakukan moratorium sementara kegiatan Diksar Menwa di seluruh kampus di Indonesia. Sembari dilakukan evaluasi baik terkait materi, kualifikasi trainer, hingga supporting system pelaksanaan diksar Menwa yang memang menguras fisik,” kata Huda.

Evaluasi dari Kementerian

Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji mengatakan kementerian terkait harus merespons kematian sejumlah mahasiswa setelah mengikuti kegiatan Menwa dengan melakukan evaluasi ihwal keberadaan Menwa di lingkungan kampus.

Bila tidak dibutuhkan, menurutnya, Menwa di lingkungan kampus seharusnya ditiadakan.

“Harus mulai dari Kemhan, apakah kita butuh tentara cadangan. Sekarang kalau enggak ada kebutuhan, buat apa ada Menwa?” kata Indra kepada Indonesia.com, Kamis (2/12).

Dia mengatakan ketiadaan kebutuhan akan keberadaan Menwa membuat lembaga tersebut tidak dikelola sosok yang profesional. Menurutnya, situasi itu kemudian membuat Menwa menjadi arena perpeloncoan atau bullying yang dilakukan oleh senior ke junior.

“Jadi arah ke bullying, ngerjain saja, rusak semua, tujuannya enggak jelas, sesuatu yang tujuan enggak jelas ya akan berantakan,” ucapnya.

Indra berkata, kementerian terkait seharusnya mengelola Menwa di semua perguruan tinggi secara profesional. Menurutnya, kemeterian tidak boleh membiarkan mahasiswa yang mengikuti Menwa hanya sekadar mengenakan seragam ala militer tanpa mendapatkan pelatihan yang profesional.

“Bukan cuma pakai seragam doang terus yang melatih kakak kelas, itu akhirnya cuma ajang perpeloncoan saja yang zaman sekarang enggak ada manfaatnya,” katanya.

“Kalau dikelola jadi bagian sumber daya manusia militer kita enggak mungkin akan seperti ini,” imbuh Indra.

Buka halaman selanjutnya…


Memikirkan Lagi Konsep Ulang Menwa


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *