Fahri Hamzah Desak Ambang Batas Capres 0 Persen: 2019 Sejarah Buruk
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah, kembali mendesak agar presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden dihapus atau ditetapkan menjadi 0 persen.
Menurutnya, penghapusan ambang batas pencalonan presiden tersebut penting agar tokoh-tokoh di daerah memiliki peluang maju menjadi calon presiden (capres).
“Bila presidential threshold dihapus, semua putra daerah bisa memiliki peluang yang sama untuk memimpin bangsa Indonesia ke depan dan kita juga bisa mencari dan menggali sumber potensi kepemimpinan, terutama dari daerah,” kata Fahri dalam keterangan resmi, Senin (6/12).
“Dengan begitu, kesempatan tampil bukan hanya untuk orang yang ada di Jakarta atau di Pulau Jawa saja, tetapi seluruh wilayah, seperti Papua, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, NTT, Tidore dan lain-lain,” imbuhnya.
Di sisi lain, Fahri meminta agar pemerintah bersama DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mencari solusi agar gelaran Pemilu 2024 mendatang.
Ia mengatakan peristiwa sebanyak 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia akibat beban kerja seperti yang terjadi di Pemilu 2019 tidak boleh terulang lagi.
“Pemilu 2019 adalah sejarah buruk bagi pesta demokrasi lima tahunan di Tanah Air. Untuk itu, saya minta semua pihak yang terkait dengan gelaran pemilu, mencari solusi bagaimana Pemilu mendatang zero accident,” ucap mantan Wakil Ketua DPR itu.
Ia menyatakan, seluruh pemangku kepentingan harus melakukan mitigasi terhadap para korban pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 yang lalu, termasuk soal metode pelaksanaan pemilu serentak. Menurutnya, koreksi harus dilakukan agar tidak memunculkan kesan kecenderungan elite menyederhanakan penyelenggaraan pemilu.
Fahri mengusulkan agar aturan untuk mencegah peristiwa untuk mencegah ratusan KPPS meninggal dunia disusun lewat PKPU, bila pemerintah dan DPR sepakat tidak merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Keselamatan jiwa para petugas KPPS harus menjadi perhatian penyelenggara pemilu. Jangan sampai peristiwa Pemilu 2019 terulang kembali. Bila perlu dipikirkan juga jaminan asuransi bagi para petugas KPPS,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti mengatakan aturan ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pemilu tidak sesuai dengan konstitusi.
“Apakah presidential threshold sesuai dengan konstitusi? Jawabnya adalah tidak. Ini bukan hanya jawaban dari saya, tetapi semua pakar hukum tata negara mengatakan hal yang sama,” kata La Nyalla dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/11).
Menurut La Nyalla, dalam Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen hanya disebutkan mengenai ambang batas keterpilihan presiden. Ambang batas keterpilihan ini untuk menyeimbangkan popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar. La Nyalla menyebut ambang batas pencalonan tidak ada sama sekali dalam UUD 1945.
Sementara itu, Presiden PKS, Ahmad Syaikhu mengusulkan agar ambang batas pencalonan pasangan capres dan cawapres diturunkan dari 20 persen menjadi 10 persen kepemilikan kursi DPR. Bila diturunkan, ia menilai pasangan capres dan cawapres yang berlaga di Pilpres 2024 mendatang tak hanya dua pasang.
Untuk diketahui, DPR dan pemerintah telah sepakat tidak melakukan revisi terhadap UU Pemilu pada Maret 2021. Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah pun telah mengeluarkan RUU Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021.
Langkah tersebut dilakukan setelah Presiden Jokowi mengumpulkan mantan tim suksesnya di Pilpres 2019 dan mengisyaratkan menolak revisi UU Pemilu, khususnya poin terkait gelaran pilkada pada 2022 dan 2023.
(mts/DAL)