Comeback Piala AFF 2004 dan Gol 13 Detik


Jakarta, Indonesia —

Piala Tiger 2004 yang kini berganti Piala AFF adalah momen terbaik saya bersama Timnas Indonesia. Gelar top skor berhasil saya raih, namun gelar juara lepas dari genggaman.

Semula saya sempat minder karena harus bersaing dengan Kurniawan Dwi Yulianto di Timnas Indonesia. Pasalnya dia sudah jadi bintang di Pelita Jaya dan Timnas Indonesia sebelum saya jadi apa-apa.

Tetapi pelatih Timnas Indonesia saat itu, Peter Withe, punya kacamata yang berbeda. Saya lebih banyak dipercaya sebagai starter di turnamen bergengsi yang diikuti antarnegara ASEAN itu.

Saya berusaha menjawab kepercayaan Withe dengan melesakkan tujuh gol sekaligus menyabet gelar top skor di Piala Tiger 2004.

Gol yang paling berkesan adalah saat melawan tuan rumah Vietnam di fase grup. Pertemuan ini terbilang sebagai partai hidup-mati karena kami sama-sama mengemas empat poin dari dua pertandingan.

Di dua pertandingan sebelumnya, lawan Laos dan Singapura, kami bermain di Ho Chi Minh City yang cuacanya kurang lebih mirip dengan Jakarta. Tapi pertandingan melawan Vietnam dipindah ke Hanoi yang cuacanya dingin seperti daerah Puncak, Jawa Barat.

Selaku tuan rumah Vietnam sepertinya merasa di atas angin dan memandang Indonesia sebelah mata. Seakan-akan mereka sudah pasti lolos dan bisa menang banyak lawan Indonesia.

Stadion Nasional My Dinh saat itu penuh sesak dengan suporter tuan rumah. Jujur atmosfer di stadion sempat bikin kami grogi. Tapi ternyata kami justru mampu tampil beringas.

Muhammad Mauli Lessy lebih dulu memecah kebuntuan di menit ke-18 dan membuat suporter tuan rumah kaget. Tiga menit berselang, giliran Boaz Solossa bikin gol. Saya pun berhasil menjaringkan gol sebelum babak pertama usai.

Saya ingat betul proses gol itu terjadi ketika bek mereka salah antisipasi umpan langsung dari Hendro Kartiko. Kontrol yang buruk dari pemain lawan membuat bola bergulir ke arah saya yang berada di luar kotak penalti. Tanpa pikir panjang, bola langsung saya sikat dan gol!




Indonesian soccer player Yulianto Kurniawan(L) battles for the ball with Vietnam's Mai Tien Dung(R) during Tiger Cup 2000 semi final match in Bangkok 16 November 2000.  Indonesia beat Vietnam 3-2 in extra time(2-2).    AFP PHOTO/Pornchai KITTIWONGSAKUL (Photo by PORNCHAI KITTIWONGSAKUL / AFP)Ilham Jaya Kesuma bersaing dengan Kurniawan Dwi Yulianto di Timnas Indonesia. (PORNCHAI KITTIWONGSAKUL / AFP)

Tiga gol keunggulan kami di babak pertama tak mampu dibalas Vietnam di babak kedua. Saya salut, suporter tuan rumah malah memberikan applaus kepada Indonesia di akhir pertandingan. Pemandangan yang agak jarang kita lihat di Indonesia.

Selanjutnya kami bermain lawan Kamboja di laga terakhir babak grup. Saya sukses mencetak hattrick di laga yang berakhir dengan skor 8-0 itu. Sayang, saya terkena akumulasi kartu kuning dan harus absen di leg pertama semifinal lawan Malaysia.

Laga melawan Malaysia menjadi salah satu momen yang tak terlupakan dalam karier saya di Timnas. Apalagi pertandingan ini berlangsung dramatis.

Seluruh pemain Indonesia sangat termotivasi untuk meraih kemenangan karena melawan tim rival. Tak disangka-sangka, ternyata kami kalah 1-2 di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Ini benar-benar menjadi pukulan telak buat pemain.

Kami seperti menghadapi mission impossible di leg kedua. Apalagi para pemain Malaysia sangat percaya diri dan seakan-akan sudah melaju ke final. Itu terlihat jelas ketika kami berpapasan di hotel yang sama.

Di sinilah saya mengakui kehebatan seorang Peter Withe. Dia berhasil bikin kami semua rileks dan tidak terbeban dengan hasil pertandingan pertama di GBK.




Banner Testimoni

Hal-hal yang dilakukan Peter Withe sederhana. Contohnya, dia ajak kami jalan kaki di sekitar hotel sambil ngobrol santai. Dia bilang, “Jangan pikirkan yang lain. Nikmati saja pertandingan nanti.”

Mental pemain yang sudah terbangun, sempat turun usai tertinggal 0-1 di babak pertama. Bagaimana tidak? Kami bertekad untuk mengejar gol, malah kebobolan lebih dulu.

Tapi di sinilah peran seorang pelatih dibutuhkan. Peter White lagi-lagi berhasil memompa semangat dan mental pemain di ruang ganti.

Saya ingat betul kata-kata Peter White saat itu: “Bikin bangga negaramu, bikin bangga keluargamu, dan juga buat bangga dirimu sendiri!”

Pesan White itu sangat berkesan dan tak akan pernah saya lupakan. Kami keluar lapangan dengan motivasi berlipat ganda menghadapi babak kedua.




Ilham Jaya Kesuma, striker legendaris Persita Tangerang dan Timnas Indonesia era 2000an. (FOTO/Arsip Persita Tangerang)Ilham Jaya Kesuma kini melatih Persita Tangerang U-16 di Elite Pro Acedemy PSSI. (FOTO/Arsip Persita Tangerang)

Permainan pun berubah seketika setelah Kurniawan masuk menggantikan Ismed Sofyan. Mental anak-anak makin menggila setelah Kurniawan cetak gol penyeimbang 1-1.

Charis Yulianto kemudian sukses mencetak gol kedua dan tiga menit kemudian saya juga cetak gol untuk membalikkan skor jadi 3-1.

Boaz Solossa kemudian menambah penderitaan Malaysia dengan gol yang dicetaknya beberapa menit sebelum waktu normal berakhir. Skor 4-1 untuk Indonesia. Kemenangan ini berhasil membawa Merah Putih lolos ke final dengan agregat 5-3.

Sangat disayangkan, kami kalah dari Singapura di partai final yang berlangsung dua pertandingan. Pada leg pertama kami kalah 1-3 dari Singapura di GBK. Kekalahan itu sangat menyakitkan karena Boaz mengalami cedera patah kaki usai dihajar Baihakki Khaizan.

Kami mencoba bangkit untuk membuat keajaiban seperti saat lawan Malaysia di semifinal. Namun kami tak mampu mengulangi momen tersebut dan kembali kalah 1-2 di leg kedua.

Skill individu pemain Singapura sebenarnya biasa saja dan bisa dibilang lebih bagus para pemain Indonesia. Tapi mereka unggul strategi dan organisasi permainan.

[Gambas:Video ]

Satu hal yang saya pelajari dari pertandingan itu adalah permainan tim yang solid bisa dengan mudah mengalahkan tim yang mengandalkan individu satu atau dua pemain. 

Saya berharap PSSI tak sering melakukan pergantian pelatih agar Timnas Indonesia punya fondasi permainan yang kuat. Di samping itu pendidikan filosofi sepak bola nasional (Filanesia) benar-benar dijalankan sejak usia dini.

Dengan harapan Timnas Indonesia nanti tidak perlu meraba-raba soal cara bermain yang sudah menjadi pakem sepak bola kita.

Baca lanjutan artikel ini di halaman berikutnya>>>


Momen Tak Terlupakan di Persita


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *