Pelaku Kekerasan Seksual Digital Dipenjara 4-6 Tahun
Anggota Tim Ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR, Sabari Barus mengatakan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) mencantumkan aturan terkait kekerasan seksual secara elektronik atau digital.
Aturan itu tertuang di Pasal 5 dengan dua kandungan ayat. Memuat hukuman pidana penjara 4 hingga 6 tahun bagi pelaku.
“Ini baru sama sekali, karena dalam perkembangan, pembahasan dalam panja [panitia kerja] isinya ada dua ayat,” kata Barus dalam rapat Panja RUU TPKS Baleg DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (8/12).
Barus lalu membeberkan dua pasal yang mengatur soal tindak pidana kekerasan seksual secara elektronik atau digital.
Pasal 5 ayat (1) berbunyi, “Setiap orang yang mengirim dan/atau menyebarluaskan gambar dan/atau rekaman segala sesuatu yang bermuatan seksual kepada orang lain, di luar kehendak orang lain tersebut atau dengan maksud memeras/mengancam/memperdaya agar orang itu tunduk pada kemauannya, dipidana karena melakukan pelecehan seksual berbasis elektronik dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 6 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 75juta, “.
Kemudian, Pasal 5 ayat (2) menyatakan, “Pelecehan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan”.
Sebelumnya, Ketua Panja RUU TPKS Baleg DPR, Willy Aditya, pernah menyampaikan bahwa kekerasan di dunia digital akan masuk dalam draf RUU TPKS. Ia berharap, keberadaan aturan soal kekerasan di dunia digital di RUU TPKS nantinya sesuai dengan keinginan publik.
Kekerasan di dunia digital kita masukkan itu kabar gembira untuk kita semua,” kata Willy kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (23/11).
Sebagai informasi, komentar bernuansa seksis, pelecehan terhadap bentuk tubuh maupun orientasi seksual, dinilai menjadi indikator bahwa kekerasan tetap marak di dunia digital. Ini terpotret lewat penelitian yang diinisiasi oleh Jakarta Feminist di akhir 2020 hingga awal 2021 lalu.
Yoane Salim, salah satu pengurus Jakarta Feminist sekaligus koordinator Feminist Festival 2021, mengatakan jumlah laporan kekerasan naik signifikan khususnya kekerasan berbasis gender online.
Responden menyebut bentuk-bentuk kekerasan antara lain, ancaman dan tindakan penyebaran video serta foto intim tanpa persetujuan (consent).
“Sebanyak 22 persen responden baru mengalami kekerasan berbasis gender sejak awal pandemi [atau bisa kita sebut korban ‘baru’], kemudian 48 persen mengatakan mereka pernah mengalami kekerasan secara daring,” jelas Yoane dalam konferensi pers Feminist Festival 2021, Kamis (18/11).
(mts/bmw)