Hukuman Mati Koruptor, Antara Efek Jera dan Hak Asasi Manusia



Jakarta, Indonesia —

Terdakwa kasus dugaan korupsi PT ASABRI, Heru Hidayat, dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung (Kejagung), di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (7/12). Heru juga dituntut membayar ganti rugi sebesar Rp12,6 triliun.

Jaksa mengungkapkan sejumlah alasan menuntut mati terdakwa koruptor tersebut. Salah satu di antaranya adalah yang bersangkutan melakukan pengulangan tindak pidana setelah sebelumnya terlibat dalam kasus korupsi Jiwasraya.

Tuntutan mati terhadap pelaku korupsi bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, Dicky Iskandar Dinata dituntut hukuman mati atas kasus pembobolan Bank BNI melalui transaksi fiktif senilai Rp1,7 triliun. Namun, pengadilan memvonis Dicky dengan 20 tahun penjara.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri pun sempat mengutarakan kemungkinan menjatuhkan tuntutan hukuman mati pada koruptor, terutama terkait penanggulangan Covid-19. Namun, itu belum terbukti sejauh ini, termasuk pada mantan Menteri Sosial Juliari Batubara kala menjadi terdakwa korupsi dana bansos Covid.




RUU Perampasan Aset ini lah salah satu indikator keseriusan negara dalam melawan korupsi, namun, sayangnya terus ditolak DPR dan pemerintah. Zaenur Rohman

Sebagai informasi, Ketentuan pidana mati diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor):

Ayat (1):Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ayat (2):Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Keadaan tertentu dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada(Pukat UGM), Zaenur Rohman, mafhum hukuman mati memicu pro kontra di kalangan masyarakat karena menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM). Ia menjelaskan catatan utama penolak hukuman mati yaitu terkait dengan hak hidup seseorang yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Sebab, selain itu terjadi di negara yang masih sering ada error dalam penegakan hukum, hukuman mati juga belum mempunyai bukti ilmiah dapat menimbulkan efek jera.

Sementara dari sisi kelompok pendukung hukuman mati, Zaenur mengatakan mereka menilai korupsi merupakan kejahatan yang sangat serius dan mengakibatkan rakyat sengsara. Selain itu, hukuman yang diberikan kepada koruptor selama ini tidak membuat efek jera.

“Terlepas dari pro kontra pidana mati, korupsi sebagai kejahatan bermotif ekonomi maka bentuk pemidanaannya harus dapat memiskinkan melalui perampasan aset hasil kejahatan. RUU Perampasan Aset ini lah salah satu indikator keseriusan negara dalam melawan korupsi, namun, sayangnya terus ditolak DPR dan pemerintah,” kata Zaenur kepada Indonesia.com, Rabu (8/12).

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar,menuturkan pidana mati masih merupakan hukum positif di Indonesia yaitu diatur dalam Pasal 10 KUHP. Ia berujar tuntutan mati yang diberikan jaksa kepada Heru karena korupsi sudah dikualifikasikan sebagai tindak pidana sangat berat.

“Secara yuridis tidak salah JPU menuntut hukuman mati karena memang menurut rasa keadilan negara. Karena itu sah-sah saja, tidak ada masalah apa pun,” kata dia.

Namun, secara sosiologis, Fickar berpendapat akan lebih baik hukuman maksimal yang diberikan adalah pidana penjara seumur hidup. Sebab, menurut dia, hukuman mati menutup pintu kemungkinan kekeliruan, kesalahan, bahkan terkesan mendahului Tuhan.

“Karena itu, meskipun KUHP kita masih bisa dijadikan dasar menuntut hukuman mati, sebaiknya tidak digunakan lagi. Lebih adil seumur hidup tanpa remisi,” ucap Fickar.

Baca halaman selanjutnya ada suara dari LSM soal hukuman mati koruptor.


Penjara dan Perampasan Aset yang Tak Dimaksimalkan


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *