UNHCR Tanggapi Protes Ekstrem Pengungsi di Indonesia
Jakarta, Indonesia —
Badan Pengungsi untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNHCR, menanggapi protes ekstrem para pengungsi di Indonesia mulai dari bakar diri hingga jahit mulut saat menanti kepastian ditempatkan di negara ketiga.
Petugas Komunikasi UNHCR, Mitra Suryono, membeberkan terbatasnya pemukiman dan keputusan menerima imigran bergantung negara tujuan.
“UNHCR dimana-mana di setiap negara, pendekatan kita adalah ke negara-negara penerima. Kita meminta mereka untuk selalu menambah kuota,” terang Mitra saat dihubungi Indonesia.com, Kamis (9/12).
Langkah Mitra dan kawan-kawannya di UNHCR tak sia-sia. Sebelumnya, pada 2020 kuota penempatan pengungsi di negara ketiga hanya satu persen, kemudian di tahun berikutnya bertambah meski tak signifikan, yakni 1,5 persen.
Dia juga mengakui angka itu bak tak kasat mata dibanding jumlah pengungsi yang berkisar 26 juta jiwa.
“Jadi advokasi tersebut terus kami lakukan sampai menunggu hasil atau kuota yang lebih baik,” tuturnya.
Hingga akhir April 2021, pengungsi di Indonesia, sebanyak 57 persen berasal dari Afghanistan, 10 persen dari Somalia, dan 5 persen dari Irak.
Secara global pengungsi mengalami hal yang sama, karena semua tak bisa disambut di negara penerima, katanya lagi.
Menurut Mitra, selama lima tahun terakhir ada sekitar 5.700 pengungsi untuk ditempatkan ke negara ketiga. Sayangnya, dari jumlah itu hanya 3.700 yang diterima.
Prioritas negara menerima pengungsi adalah mereka yang tergolong dalam kelompok rentan, seperti anak tanpa kepala keluarga, perempuan, lansia yang membutuhkan pelayanan kesehatan dan para difabel.
Sembari menunggu hasil advokasi kuota tambahan pengungsi, UNHCR memberi solusi alternatif kepada para pengungsi dengan membantu program edukasi dan pemberdayaan. Selain itu, jika memungkinan mereka menyarankan untuk menempuh jalur sponsorhip.
Di bidang edukasi, kata Mitra, UNHCR bekerja sama dengan banyak pihak agar anak-anak pengungsi bisa mengenyam pendidikan di sekolah negeri.
Namun, jalan itu bukan tanpa kendala. Bahasa pengantar dan kuota penerimaan siswa di sekolah negeri menjadi hambatan tersendiri.
“Memang ada kendala banyak, salah satunya keterbatasan tempat ya. Kalau ada space, ada sekolah negeri mau menerima anak pengungsi,” ucap Mitra lagi.
Anak-anak pengungsi, menurutnya, juga tak semua menguasai bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Namun, UNHCR menyediakan program pelatihan bahasa untuk mempersiapkan siswa pengungsi masuk ke sekolah.
Sejauh ini, anak-anak pengungsi di Indonesia yang bisa belajar di sekolah negeri ada 778 anak.
Sementara itu, total pengungsi di Indonesia mencapai 13.459. Dari jumlah itu, sekitar 3.500 merupakan anak-anak.
Mereka yang belum mendapat kesempatan di sekolah negeri, mengikuti pendidikan non-formal.
Usai menamatkan sekolah, ijazah juga menjadi sorotan UNHCR. Mereka yang belajar di sekolah negeri tak mendapat ijazah sebagaimana siswa Indonesia lain.
Masalah pendidikan pengungsi di Indonesia, baca di halaman berikutnya…
Perjuangkan Sertifikat Kelulusan Anak Pengungsi