Asap Bergulung, Api, Hujan Batu
Nyaminten (65) masih ingat betul kejadian erupsi Gunung Semeru, Jawa Timur, Sabtu (4/12) lalu. Memori erupsi Semeru itu membekas di kepalanya. Rumahnya hancur, rasa trauma mencengkram.
Dia adalah salah satu warga Dusun Curah Kobokan, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang. Dusun ini adalah daerah yang paling terdampak terjangan awan panas guguran Semeru. Lokasinya di kaki gunung.
Nyaminten mengaku tak mau kembali ke kediaman yang sudah ditinggalinya sejak kecil itu, di Curah Kobokan. Rumahnya, kata dia, sudah hancur. Begitu pula harapannya. Rasa takut menghantuinya.
“Saya enggak berani melihat rumah, karena takut trauma, saya sudah enggak punya harapan lagi, rumah saya hancur,” kata Nyaminten ditemui Indonesia.com di posko pengungsian Kantor Desa Penanggal, Candipuro, Jumat (10/12).
Tak cuma rumahnya yang rusak, lahan ladang tempatnya bersama suami bertani, kini sudah terkubur oleh material vulkanik erupsi Semeru.
Rasa trauma Nyaminten itu dipicu kejadian erupsi Sabtu (4/12) lalu. Saat itu, menjelang sore hari, ia dikagetkan gaduh teriakan para tetangganya.
Saat melihat apa gerangan yang membuat gaduh, ia menyaksikan tiba-tiba saja gulungan awan tebal mulai mendekati desanya. Tak hanya itu, Nyaminten juga melihat api. Sesaat kemudian badai hujan batu pun terjadi.
“Ada tetangga teriak-teriak, saya keluar. Ada asap gulung-gulung dan ada api, terus hujan batu,” kata Nyaminten bercerita, sembari menyeka ujung matanya.
Dengan menangis, ia lalu mengajak suami dan cucunya lari menyelamatkan diri ke dusun sebelah, Dusun Kajar Kuning. Di sana ia berlindung di salah satu rumah warga.
Di rumah itu, ia hanya bisa meringkuk dan berdoa. Sesak nafas mulai dirasakannya. Sementara kondisi di sekitarnya sudah gelap gulita.
“Saya lari ke rumah yang agak tinggi, menjauh, di Kajar Kuning,” ucapnya.
|
Nyaminten berharap janji relokasi pemerintah segera terwujud. Ia memohon agar pemerintah mau menyediakan tempat tinggal pengganti. Sederhana pun, kata Nyaminten, tak apa-apa karena yang penting lokasinya masih di Lumajang.
“Enggak mau kembali ke Curah Kobokan. Saya mohon direlokasi, kalau ada sekitar sini, enggak jauh-jauh, dibangunkan rumah kecil-kecilan,” kata dia.
Ia bahkan menolak ajakan anaknya yang sudah tinggal di Kalimantan untuk pindah ke sana. Alasannya ia tak mau jauh dari tanah leluhurnya.
“Anak saya di Pacitan, ada di Kalimantan, dijemput ke Kalimantan saya enggak mau, ya kasihan anak-anak saya di Jawa, keluarga. Sejak lahir saya di sini,” kata dia.
Senada, Ahmad (47) mengaku trauma untuk pulang Kampung Renteng, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro. Apalagi saat melihat kondisi rumahnya yang sudah terkubur material lahar Semeru.
Rumah Ahmad kini tertimbun pasir dan batu muntahan Semeru dengan ketinggian 3-4 meter. Hanya atap rumah yang bisa dipandangnya kini.
Ia mengaku takut dan tak mau lagi ke rumah itu. Tapi di saat yang sama ia juga bingung, mau tinggal di mana lagi setelah kejadian ini.
“Saya cuma pulang sekali setelah kejadian. Rumah saya tinggal atap saja yang kelihatan,” kata Ahmad yang kini mengungsi di SMPN 1 Candipuro.
|
Ahmad kian merasa pilu, saat anaknya yang masih berusia 3 tahun yang mengungsi bersamanya, merengek meminta pulang ke rumah.
“Saya bingung waktu anak saya minta pulang, saya enggak bisa jawab apa-apa,” ucapnya.
“Saya trauma, saya bingung memikirkan ketika anak-anak kalau sudah besar nanti mereka mau pulang kemana,” pungkas dia.
(frd/kid)