Ahli Jelaskan Penempatan Sumur Resapan yang Baik
Pakar Hidrologi dari Universitas Padjadjaran (UNPAD), Chay Asdak, mengkritik pemerintah DKI Jakarta yang membuat sumur resapan di jalan.
Ia menjelaskan sumur resapan seharusnya tak dibuat di badan jalan karena memiliki permeabilitas kecil, sehingga air tidak bisa lancar masuk ke dalam tanah.
“Jalan itu kan permiabilitasnya kecil, karena memang didesain untuk tahan tekanan kendaraan,” ujar Chay kepada Indonesia.com lewat sambungan telepon, Jumat (10/12).
Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, Chay menjelaskan, sumur resapan justru dibangun di berbagai area seperti di lapangan golf dan wilayah kebun.
Jalan raya dinilai Chay didesain untuk tahan tekanan bobot kendaraan di permukaan. Kontur tanah yang ada di area tersebut sengaja dibuat padat agar mampu menahan bobot besar sehingga dianggap kemampuan resapan airnya minim.
“Jadi sumur resapan tidak dibuat di jalan. Jalan itu kan permiabilitasnya kecil, karena memang didesain untuk tahan tekanan kendaraan,” tegasnya.
Chay tak menampik jika sumur resapan yang berada di jalan raya juga mengganggu estetika hingga berpotensi menimbulkan kecelakaan.
Lebih lanjut ia menyarankan sumur resapan dibangun di wilayah yang memiliki unsur tanah lempung atau permeabilitasnya tinggi, sehingga air mampu masuk ke dalam tanah.
Kemudian ia juga memberi pendapat dilakukan riset lebih dulu sebelum memetakan posisi sumur resapan yang sesuai.
Chay juga menceritakan saat menjalani studi di AS dan Inggris, dia melihat sumur resapan dibangun di area seperti kebun, lapangan golf, atau tanah yang banyak ditanam rumput yang memiliki permeabilitas tanah cukup tinggi.
“Ketika saya tinggal lama di US dan UK pada tempat tertentu seperti lapangan golf, di tempat yang tidak membahayakan atau tidak mengganggu itu dipasang sumur resapan,” katanya.
Di samping itu ia menyarankan baiknya membangun sumur resapan di wilayah hulu, seperti di Kabupaten Bogor, agar curah hujan yang turun di Bogor bisa diserap sebagian, sebelum mengalir ke wilayah hilir atau Jakarta.
Selain itu ada pula alternatif pembuatan kolam retensi atau embung yang dapat menampung air. Jika di DKI sudah tak bisa dibangun karena padatnya pembangunan, maka bisa dilakukan di Kabupaten Bogor atau di Depok.
Konsep kolam retensi ialah menampung volume air ketika debit maksimum di sungai datang, kemudian secara perlahan air dialirkan ketika debit di sungai sudah kembali normal.
“Di Depok itu berkurang embung [sekitar] puluhan, sekarang bisa dihitung dengan jari tangan karena pembangunan. Nah itu yang seharusnya direkontruksi lagi. Tetapi lahan yang masih banyak itu di Kabupaten Bogor, termasuk di wilayah Puncak,” tuturnya.
(can/fea)