Amnesty Catat 84 Kasus Kriminalisasi Ekspresi Pakai UU ITE selama 2021
Amnesty International Indonesia (AII) mencatat terdapat 84 kasus pelanggaran berekspresi dengan total 98 korban sepanjang tahun 2021.
Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid mengatakan, 84 kasus tersebut dijerat menggunakan Undang undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Amnesty International Indonesia mencatat bahwa terdapat 84 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE dengan 98 orang korban,” Usman Hamid dalam diskusi daring, Senin (13/12).
Usman menyebut, upaya pembungkaman menggunakan kerap terjadi dan menyasar mereka yang mengkritik pihak yang lebih berkuasa. Terbaru, kasus penjeratan menggunakan yang menimpa konsumen klinik kecantikan Stella Monica serta jurnalis MĀ Asrul.
Dalam catatan AII, Stella dituntut satu tahun penjara dan dituduh melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE karena mengunggah keluhannya tentang iritasi kulit yang ia alami setelah melakukan perawatan di sebuah klinik kecantikan di Surabaya ke media sosial. Stella dijadwalkan untuk divonis pada Selasa(14/12) besok.
Asrul, jurnalis di Palopo, Sulawesi Selatan yang dituduh melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait pencemaran nama baik karena menulis berita tentang dugaan korupsi proyek besar di Palopo pada Mei 2019 lalu.
Dalam kasus itu, Asrul divonis bersalah dan dihukum dengan tiga bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo pada 23 November 2021 lalu.
“Kedua kasus ini kembali menunjukkan urgensi revisi UU ITE dengan perspektif perlindungan hak masyarakat, bukan hanya fokus pada ketertiban umum,” ujarnya.
Usman menyampaikan, upaya pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi juga kerap menggunakan Pasal Makar. Dalam catatan AII, kasus penjeratan menggunakan Pasal Makar kerap terjadi di Maluku dan Papua.
Per Desember 2021, kata Usman, AII mencatat masih ada 26 orang di Maluku dan Papua yang ditahan atas tuduhan makar karena mengekspresikan pendapatnya secara damai.
Kasus lainnya, ada delapan mahasiswa di Jayapura yang dijadikan tersangka kasus makar hanya karena mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Kemudian, pada 13 September 2021, sedikitnya tujuh mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Jawa Tengah ditangkap oleh aparat kepolisian. Mereka juga dibawa ke Mapolresta Solo setelah membentangkan beberapa poster saat Jokowi melintas di depan kampus UNS.
“Meskipun orang-orang yang terlibat dalam insiden tersebut tidak dijadikan tersangka, ‘mengamankan’ warga hanya karena mengekspresikan pendapatnya secara damai berpotensi menciptakan efek gentar yang membuat orang enggan untuk mengungkapkan pendapat yang kritis,” ujar Usman.
(yla/kid)