Alasan Gatot Nurmantyo dkk Gugat Presidential Threshold ke MK



Jakarta, Indonesia —

Advokat Refly Harun memasukkan unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam uji materi aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Refly menjadi kuasa hukum Gatot Nurmantyo, Ferry Juliantono, Bustami Zainuddin, dan Fachrul Razi dalam gugatan uji materi UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

Refly mengatakan presidential threshold membatasi hak warga negara untuk dipilih dan memilih. Oleh karena itu, ia mencantumkan pasal 28J UUD 1945 sebagai batu uji terhadap Pasal 222 UU Pemilu.

“Menurut kami, pembatasan yang dilakukan presidential threshold tidak reasonable, tidak dimaksudkan demi menjaga ketertiban masyarakat dan sebagainya yang tercantum dalam pasal 28J,” kata Refly saat dihubungi Indonesia.com, Rabu (15/12).

Refly juga menggunakan prinsip keadilan pemilu dalam gugatan presidential threshold kali ini. Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden menimbulkan ketidakadilan, khususnya bagi partai politik baru.

Aturan main pemilu saat ini mensyaratkan dukungan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Jumlah kursi dan perolehan suara yang dimaksud merujuk pada hasil pemilu legislatif di periode sebelumnya.

Gatot dkk. menganggap aturan itu tidak adil bagi partai politik yang baru berdiri usai pemilu. Pasalnya, mereka belum memiliki modal suara untuk mengajukan kandidat presiden.

“Partai-partai baru, Partai Gelora, Partai Ummat, Partai Prima itu tidak bisa mengajukan calon karena tidak punya kursi,” ujarnya.

Refly menyadari sudah ada sejumlah gugatan terhadap aturan presidential threshold sebelumnya. Gugatan-gugatan itu pun belum ada yang pernah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Meski demikian, ia tetap optimistis permohonan para kliennya bisa dikabulkan Mahkamah. Refly bilang gugatan Gatot dkk. sekaligus untuk menguji independensi MK.

“Saya menganggap tidak diterimanya (gugatan sebelumnya) itu justru karena kuatnya cengkeraman oligarki. Kita ingin menguji kembali independensi Mahkamah Konstitusi karena pasal presidential threshold yang jelas secara konstitusi tidak ada, dampaknya juga kita rasakan buruk bagi demokrasi,” ujarnya.

(dhf/fra)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *