Pakar Nilai RI Berpotensi 5 Besar Dunia Kontributor Gas Rumah Kaca



Jakarta, Indonesia —

Ekonom Faisal Basri menyebut Indonesia berpotensi menjadi lima besar negara kontributor gas rumah kaca (GRK) di dunia. Pasalnya, Indonesia saat ini masih berada dalam industri ekstraktif yang terus mengeruk sumber daya alam (SDA).

Alih-alih melakukan pengolahan terhadap sumber daya yang ada di Indonesia, menurutnya pemerintah hingga saat ini masih sekedar keruk-jual SDA yang ada.

“Kalau ini berlangsung terus, maka Indonesia akan menjadi Big 5 kontributor gas rumah kaca. Karena pertumbuhan ekonominya masih tinggi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, energinya makin besar,” ujar Faisal dalam diskusi Buruk Elite, Rakyat Dibelah, Senin (20/12).

Faisal memaparkan sejauh ini kenaikan ekspor di Indonesia didominasi Crude Palm Oil (CPO) atau kelapa sawit dengan 64 persen dan batu bara meningkat hingga 90 persen.

Bahkan, peningkatan ekspor besi dan baja (iron and steel) didominasi perusahaan investasi China sebesar 92 persen. Bukan dari badan usaha milik negara (BUMN) Indonesia semacam Krakatau Steel.

Akibatnya, hal ini dilihat Faisal sebagai bentuk ekstraksi luar biasa yang mengandalkan keruk jual hingga menyebabkan produksi gas rumah kaca yang semakin besar.

“Tadi cuman dijual aja tuh natural resources-nya. Kalau diolah, industrialisasinya jalan. Industri walaupun menciptakan gas rumah kaca, kecil sekali,” tambah Faisal.

Terlebih, menurutnya, dengan mengedepankan kegiatan ekstraktif SDA ini, pemerintah justru tidak menyejahterakan masyarakat ataupun membuat ekonomi semakin bertumbuh. Terbukti, pertumbuhan ekonomi yang menurun dari tahun ke tahun hingga saat ini hanya berada di angka 5 persen.

“Membuktikan bahwa kita enggan melakukan kegiatan yang pakai otak. Olah otak. Kalau industri olah otak ya, ada desain, proses bisa panjang, untuk mengecilkan sesuatu [gas rumah kaca] yang [jadi] nilai tambah. Itu enggak terjadi,” ujar Faisal.

83 Juta Ton Emisi Karbon per Tahun dan PLTU

Sementara itu, Greenpeace Indonesia menaksir RI akan menghasilkan 83 juta ton emisi karbon per tahun selama 2021-2030 yang berdampak pada peningkatan suhu bumi atau pemanasan global.

Hal itu diproyeksikan terjadi jika pemerintah Indonesia terus menambah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagaimana ditargetkan dalam Rencana Usaha Penyediaan tenaga Listrik (RUPTL) PLN. Dalam RUU PTL itu, terdapat sekitar 39 PLTU Batubara baru yang akan dibangun dengan kapasitas sebesar 13,8 gigawatt atau 43 persen.

“Kapasitas 13,819 gigawatts, emisi karbon yang dihasilkan 83 juta ton per tahun, setara dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh 40 juta mobil per tahun,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari dalam diskusi daring, Senin (20/12).

Pihaknya menilai penambahan PLTU itu tidak sejalan dengan rekomendasi global. Adila mengatakan Sekretaris Jendral PBB telah menyerukan untuk menghentikan penambahan PLTU baru setelah tahun 2020. Selain itu, penambahan PLTU itu juga bertentangan dengan rekomendasi Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC).

Mereka, merekomendasikan negara negara menutup 80 persen dari PLTU yang ada di tahun 2030 dan melakukan phase out sebelum 2040. Rekomendasi itu, kata Adila, diberikan IPCC untuk mencapai nol emisi. Sehingga, peningkatan pemanasan global dapat ditekan.

“Menambah 43 persen PLTU baru dari PLTU existing ya. Jadi sangat bertentangan. IPCC ini untuk mencapai nol emisi,” ujarnya.

Adila mengatakan, dengan tambahan itu, batubara akan tetap menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbanyak di sektor energi sampai 2030. Sebab, saat ini saja, 88 persen dari listrik yang dipakai merupakan dari bahan bakar fosil (batubara).

“Yang paling memdominasi ini batubara 67 persen dan dominasi ini tetap akan terjadi sampai 2030 yaitu mencapai 59,4 persen,” ujarnya.

Baca halaman selanjutnya, ada rekomendasi dari panel dunia.


Bauran energi terbarukan rendah – dampak bencana


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *