AS Vonis Profesor Harvard Bersalah Usai Bohong soal Keterlibatan China
Seorang profesor Universitas Harvard dinyatakan bersalah oleh pengadilan federal Amerika Serikat karena berbohong soal keterlibatannya dengan China.
Dr. Charles Lieber, mantan kepala Departemen Kimia dan Biologi Kimia Harvard, divonis bersalah atas dua tuduhan terkait dengan membuat pernyataan palsu kepada pemerintah federal.
Selain itu, Lieber juga dinyatakan bersalah atas dua dakwaan terkait pemalsuan pajak penghasilan, dan dua dakwaan karena tidak memberikan laporan bank dan rekening keuangan asing ke Internal Revenue Service (IRS).
Tim riset Lieber di Harvard mendapatkan lebih dari US$15 juta bantuan dari Institut Kesehatan Nasional AS dan Kementerian Pertahanan AS. Salah satu syarat penerima bantuan itu adalah mengungkap keterlibatan atau indikasi konflik kepentingan dengan sumber keuangan asing.
Para hakim menemukan bahwa Lieber berbohong soal afiliasinya dengan Universitas Teknologi Wuhan di China, pun juga kontrak dengan program perekrutan China yang dilakukan untuk merekrut peneliti asing ke negara itu.
Lieber ternyata dibayar sebesar US$50.000 (Rp712 juta) per bulan oleh Universitas China dan diberikan dana sebesar $1,5 juta (Rp21 miliar) untuk membangun laboratorium nanosains di WUT. Ia juga berafiliasi dengan Program Seribu Bakat China, yang mana dinilai AS sebagai rencana perekrutan peneliti yang terkemuka di Beijing.
“Program perekrutan ini menarik, merekrut, dan mengembangkan talenta ilmiah tingkat tinggi, untuk memajukan perkembangan ilmiah, kemakmuran ekonomi, dan keamanan nasional China,” kata Pengadilan AS seperti dikutip .
Jaksa AS yang berurusan dengan kasus ini, Nathaniel Mendell mengatakan, “kini tidak perlu diragukan lagi bahwa Charles Lieber berbohong pada penyelidik federal dan Harvard kala berusaha menyembunyikan partisipasinya dalam Program Seribu Bakat China.”
“Dia (Lieber) berbohong ke IRS tentang uang yang diterimanya, dan dia menutupi rekening bank China miliknya dari AS. Pengadilan mengikuti bukti dan hukum untuk memberikan putusan yang adil,” tambah Mendell.
Walaupun demikian, persidangan penentuan hukuman bagi Lieber masih belum diumumkan.
Kasus Lieber menjadi sangat sensitif terlebih ketika Amerika Serikat terus bersaing dengan China sebagai dua negara adidaya.
Relasi kedua negara bak perang dingin, di mana para pejabat selalu mengemukakan bahwa Washington dan Beijing tak memiliki konflik dan murni hanya persaingan.
Namun, AS dan China kerap berselisih soal berbagai hal mulai dari perang dagang, asal usul virus corona, dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur, isu Taiwan, Hong Kong, hingga sengketa Laut China Selatan.
(pwn/rds)