Review Film: The King’s Man
Ketika pada 2018 lalu Matthew Vaughn mengumumkan bahwa sebuah prekuel dari kisah Kingsman bakal berlatar di era awal 1900-an, saya tidak membayangkan hasilnya akan seperti The King’s Man.
Segala keseruan dari gaya baru film spionase, komedi dan dark-joke yang sudah kadung melekat pada saga Kingsman yang saya kenal, mendadak berubah menjadi membosankan dan mengada-ada dalam The King’s Man.
Sehingga, The King’s Man seolah hanya sekadar sarana untuk menambah pundi-pundi dibanding mengembangkan kisah waralaba Kingsman yang sudah sukses lewat dua film sebelumnya.
Hal itu terlihat dari bobot masalah yang melatarbelakangi pendirian organisasi Kingsman yang dikisahkan dalam The King’s Man. Niat luhung dari organisasi Kingsman yang dikenal dalam dua saga sebelumnya dinarasikan hanya bersumber dari kemauan seorang ayah pada anaknya.
Sebenarnya bisa saja premis tersebut menjadi sesuatu yang bernilai lebih, namun Matthew Vaughn tampak tidak mengeksekusinya dengan cukup baik sehingga terkesan sepele dan mengada-ada.
Vaughn mestinya tetap berpegang pada atmosfer yang sudah diciptakan dalam Kingsman sebelumnya, bukan seolah-olah mengikuti film spionase pada umumnya sehingga tampak ingin menyaingi waralaba James Bond.
Pada Kingsman: The Secret Service yang rilis pada 2014 lalu, karakter agen Kingsman baru bernama Eggsy (Taron Egerton) langsung menjadi pusat perhatian dan ikonis.
|
Film bergenre komedi aksi itu hampir sempurna menghidupkan kembali film spionase yang kebanyakan hanya menjual aksi menegangkan dan romansa seksual dengan pemeran perempuannya.
Tak heran jika setelah membintangi film itu, nama Taron Egerton makin bersinar hingga didapuk sebagai Elton John di film Rocketman.
Sutradara Matthew Vaughn bahkan menaikkan level dark joke di film kedua yang berjudul Kingsman: The Golden Circe (2017). Ramuan itu sukses meninggalkan kesan pada penonton.
Sayangnya Vaugn tampak melupakan racikan tersebut sehingga The King’s Man berakhir menjemukan, kurang sentuhan humor, dan tak ada beda dengan film spionase pada umumnya.
Memang The King’s Man memiliki keterkaitan dengan Kingsman: The Secret Service, namun hubungan tersebut terbilang tak terasa bila dibandingkan dengan mayoritas narasi yang dimiliki pada prekuel ini.
Matthew Vaughn terlalu fokus pada kisah Perang Dunia I, lengkap dengan perselisihan antar bangsawan yang memicu peristiwa itu, serta kemelut emosi seorang ayah yang tak ingin anaknya ikut berperang.
Vaughn bahkan tampaknya lupa untuk mendetailkan bagaimana Kingsman terbentuk dan berkembang sampai pada babak-babak terakhir.
Padahal sebagai film prekuel yang menjadi permulaan dari berdirinya agensi Kingsman, Matthew Vaughn semestinya lebih dalam mengupas agensi tersebut dan proses perubahannya dari masa ke masa.
|
Walau keluar dari bioskop saya masih belum paham tentang seluk beluk agensi Kingsman, setidaknya saya akhirnya bisa mengetahui cerita di balik kode-kode yang dikenal akrab bagi penggemar saga ini.
Selain itu, sejumlah rahasia terkait dengan Toko Penjahit Kingsman juga menjadi suguhan menarik dari The King’s Man. Belum lagi unsur fashion berupa jas yang elegan khas dua saga sebelumnya juga masih dipertahankan.
Namun tetap saja, semestinya The King’s Man bisa mengisahkan cerita awal yang lebih menarik dari perjalanan agensi spionase gaya baru tersebut.
Film The King’s Man bisa disaksikan di bioskop sejak 22 Desember 2021.
(end)