LBH Makassar Catat 12 Kasus Anak Korban Kekerasan Seks Keluarga 2021



Makassar, Indonesia —

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mencatat pengaduan kekerasan terhadap kelompok rentan naik 2021 hingga mencapai 103 kasus, dengan 12 di antaranya merupakan kekerasan seksual terhadap anak oleh orang dekat.

“Kami melihat semakin meningkatnya kesadaran masyarakat tentang kekerasan berbasis gender khususnya kekerasan seksual berdampak pada semakin meningkatnya laporan yang masuk,” kata Kepala Divisi Hak Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makassar, Resky Pratiwi, Selasa (28/12).

Rinciannya, kasus kekerasan seksual sebanyak 65 persen, kasus kekerasan dalam rumah 29 persen, dan kasus kekerasan fisik terhadap anak 6 persen. Selain itu, terdapat korban dari kalangan disabilitas 5 persen.

Berdasarkan kategori rentang usia dan gender korban, pertama, usia 5 hingga 17 tahun total 64 korban, yang terdiri dari untuk perempuan sebanyak 52 orang, laki-laki 24 orang.

Kedua, usia 18 hingga 25 tahun, perempuan 22 korban; ketiga, usia 26 hingga 35 tahun, perempuan 7 korban; keempat, usia 35 hingga 45 tahun dengan 8 korban perempuan. Kelima, usia 46 hingga 55 tahun ada 2 korban perempuan.

“Sehingga total kekerasan terjadi sebanyak 103 orang korban,” ucap Resky.

Pihaknya juga menyoroti banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkup rumah tangga, 12 kasus di antaranya dengan korban adalah anak dan pelaku merupakan ayah kandung, ayah tiri, hingga kakek.

“Hal ini menunjukkan bahwa rumah juga belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Di lingkup privat lainnya, terdapat 18 kasus kekerasan seksual pada relasi pacar atau mantan pacar. Sorotan selanjutnya di lingkup komunitas, terdapat 5 kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja, serta 4 kasus di lingkup pendidikan,” urai dia.

Pihaknya juga menggarisbawahi soal #percumalaporpolisi yang terjadi sejak bulan Oktober yang ramai di media sosial setelah kasus pencabulan tiga anak di Luwu Timur.

Pasalnya, penyelidikan kasus tersebut dihentikan pada tahun 2019 silam. Berbagai upaya yang dilakukan untuk membuka kasus tersebut kandas hingga kasusnya ramai di pemberitaan lalu penyelidikan baru dibuka kembali oleh polisi.

“Kasus tiga anak di Luwu Timur dapat cukup menggambarkan selama ini masih minim keseriusan polisi untuk melakukan penegakan hukum kasus kekerasan seksual, sebab upaya yang dilakukan sebelumnya untuk membuka kasus telah ditempuh sejak level polda hingga Mabes Polri,” katanya.

Di kasus lainnya pada September 2021, Polrestabes Makassar memfasilitasi pencabutan laporan polisi di dua kasus kekerasan seksual terhadap anak dan disabilitas yang diklaim sebagai penerapan restorative justice.

“Dalam aturan polisi sendiri praktik ini tidak dapat dibenarkan. Misalnya pada Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan keadilan restoratif, salah satu syarat disebutkan untuk menerapkan RJ adalah perbuatan pelaku tidak menimbulkan keresahan dan atau penolakan dari masyarakat. Apalagi jika merujuk ketentuan UU Perlindungan Anak dan KUHAP,” terangnya.

Kemudian, kasus pemerkosaan yang dialami oleh P (14) yang telah dilaporkan pada 2 Agustus 2021. Dalam kasus ini polisi telah menghentikan penyelidikan kasusnya pada bulan Oktober lalu.

“Sebelumnya di kasus tersebut, anak melakukan olah TKP tanpa didampingi orangtua dan disaksikan warga sekitar,” katanya.

Proses penantian kepastian hukum dan keadilan kata Rezky memakan waktu dan energi korban dan keluarga. Ganti kerugian dan penderitaan korban dalam restitusi baru bisa diperoleh setelah putusan hakim, jikapun terimplementasi.

“Selama proses hukum berlangsung, kebutuhan korban dan keluarga terus ada dan semakin mencekik di tengah pandemi. Memberikan ruang bagi para pelaku untuk mengintervensi proses hukum dengan uang damai.

Hal ini yang terjadi pada dua kasus yang difasilitasi pencabutan laporannya oleh penyidik Polrestabes Makassar,” pungkasnya.

(mir/arh)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *