Tetua Adat Blokir Bandara Dobo Maluku Usai Vonis Sengketa Lahan TNI AL



Jakarta, Indonesia —

Tetua adat Ursia dan Urlima Desa Marafenfen, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku memblokir Bandara Rar Gwamar dan Pelabuhan Dobo dengan memasang ‘sasi’ atau pelarangan aktivitas buntut vonis sengketa lahan adat Aru dan TNI AL di Pengadilan Negeri (PN) Dobo, Rabu (17/11).

Mereka menutup aktivitas Bandara dan Pelabuhan menyusul gugatan sengketa tanah adat seluas 689 hektare ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Dobo.

Mereka kecewa atas putusan tersebut. Mereka menilai putusan majelis hakim Bukti Firmansyah, Herdian E. Putravianto dan Enggar Wicaksono tidak adil, sehingga ratusan hektare tanah milik petuanan adat Marafenfen dikuasai oleh TNI AL.

Atas vonis tersebut, mereka menggelar ritual adat, daun kelapa dibawa lalu dipasang oleh tua-tua adat utusan dari marga-marga di Bandara dan Pelabuhan.

Sasi adat pun dibentengkan sebagai bentuk protes terhadap hukum di Indonesia.

Kuasa hukum masyarakat adat Marafenfen Semuel Waileruny mengatakan putusan hakim sangat tidak mencerminkan keadilan.

Ia bilang majelis hakim tidak mempertimbangkan sejumlah bukti yang diajukan berupa surat pernyataan dan keterangan bahwa masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembebasan lahan, namun nama mereka dicantumkan oleh pihak TNI AL.

“Padahal ini yang menjadi landasan dari diterbitkannya sertifikat tersebut,” ujar Samuel.

Saat ini warga adat Marafenfen disebut sedang mempertimbangkan jalur banding putusan PN Dobo tersebut.

Polisi Klaim Kondusif

Kepolisian Daerah Maluku menyatakan kondisi di Dobo mulai kondusif setelah bentrokan terjadi usai sidang sengketa lahan di PN Dobo.

“Kondisi Alhamdulillah sudah kondusif walaupun ‘sasi’ masih dipasang,” kata Kombes M Roem Ohoirat mengutip Antara.

Kericuhan juga sempat terjadi setelah Hakim Pengadilan Negeri Dobo memenangkan pihak tergugat TNI AL dalam perkara perdata menyangkut sengketa lahan seluas 689 hektare di Desa Marafenfen Kecamatan Aru Selatan.

Puluhan warga adat Marafenfen, sebagian mengenakan pakaian adat dan ikat kepala warna merah, mengamuk mendengar putusan tersebut dan merusak kantor Pengadilan Negeri Dobo dengan cara melempar batu.

Polisi menurunkan personel dengan tameng dan mobil meriam air (water cannon) untuk membubarkan massa.

Roem Ohoirat mengatakan warga yang emosi juga melakukan “sasi” atau pelarangan dan menyegel secara adat gedung pengadilan dengan acara memasang janur kuning kelapa.

Kemarahan warga tidak sampai di situ saja, lanjutnya, karena mereka juga melakukan “sasi” terhadap kantor Bupati Kepulauan Aru, Bandara Aru dan pelabuhan.

“Sementara anggota kami koordinasi untuk melakukan pembukaan ‘sasi’ terhadap fasilitas-fasilitas umum,” katanya.

Ia meminta warga untuk tidak anarkis dan membuka “sasi” karena akan berdampak pada kerugian di masyarakat umum. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah penutupan terhadap fasilitas-fasilitas umum seperti Bandara dan Pelabuhan Aru.

“Menutup fasilitas umum itu adalah suatu pelanggaran. Sasi itu adalah larangan adat, tapi larangan adat itu biasanya lebih ditujukan atau penutupan adat itu ditujukan kepada hak milik. Sedangkan fasilitas-fasilitas pemerintah itu kan bukan hak milik mereka, kenapa harus di-sasi,” katanya.

Ia mengatakan sekarang sedang diupayakan secara persuasif agar masyarakat adat Marafenfen membuka pelarangan adat tersebut.

Konflik lahan masyarakat Adat Marafenfen sudah berlangsung selama puluhan tahun, berawal dari Januari 1992 saat aparat TNI AL mengklaim sudah ada pembebasan lahan masyarakat di Desa Marafenfen untuk pembangunan Lapangan Udara TNI AL (Lanudal) Aru.

Masyarakat Adat Marafenfen merasa pengambilalihan lahan mereka dilakukan secara paksa, sehingga kehidupan warga setempat yang bergantung pada hutan jadi terganggu.

(sai/DAL)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *