Panja Klaim RUU TPKS Tak Muat Frasa Sexual Consent



Jakarta, Indonesia —

Rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (RUU TPKS) diklaim tak memuat kata “konsensual seks” atau seks dengan persetujuan (sexual consent) seperti yang tercantum dalam Permendikbud Nadiem Makarim.

Diketahui, hal ini berbeda dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30/2021 tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus memuat frasa “tanpa persetujuan” yang menjadi pembatas antara pelecehan dan bukan kasus.

“Itu mispersepsi, nanti teman-teman bisa lihat. Kita enggak memuat sexual consent sama sekali. Ini berbeda dengan Permendikbud, jadi publik enggak usah khawatir,” kata Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya, kepada wartawan di kompleks parlemen, Rabu (17/11).

Politikus Partai NasDem itu mengatakan pihaknya telah membahas RUU TPKS dengan mempertimbangkan aspek sosial dan kultural.

Menurutnya, RUU TPKS akan menjadi payung hukum bagi aparat dalam menindak kasus kekerasan seksual, dengan poin-poin di dalamnya mencakup mulai dari sanksi, pencegahan, hingga perlindungan korban.

“Bayangkan lah, kemendesakan itu yang ingin kita kedepankan. Jadi perspektif korban, payung hukum, pencegah, dan penindakan,” klaimnya.

Selama ini, lanjut Willy, kasus kekerasan seksual belum memiliki payung hukum sehingga aparat penegak hukum kesulitan menindak kasus. Sedangkan, KUHP menurut dia juga tidak bisa menjadi payung hukum dalam kasus tersebut.

“Seperti kasus Unri (Universitas Riau, di mana mahasiswi dilecehkan dosen saat bimbingan) terakhir ya bagaimana laporan korban atau saksi yang kemudian memberikan laporan itu sudah cukup sebagai alat bukti. Itu yang kemudian kita kedepankan,” kata dia.

Dalam draf per tanggal 30 Agustus yang dipegang  Indonesia, RUU TPKS masih memuat kata ‘persetujuan’, yang berarti konsensual, yakni pada Pasal 4.

“Setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain, dipidana karena pemaksaan hubungan seksual dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Isu sexual consent saat ini menjadi bahan bahasan kalangan konservatif yang mencampuradukkan antara pembatasan tindak pidana dengan tafsir legalisasi seks bebas.

Nadiem menyebut frasa itu tak mempunyai maksud lain di luar pencegahan kekerasan seksual.

Tanpa ‘Pencegahan’

Dalam rapat Panja RUU TPKS, semua fraksi menolak usulan anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDIP My Esti Wijayanti sebelumnya yang meminta agar ada kata “pencegahan” pada judul perundangan.

“Jadi judul tetap ya, ibu bapak semua,” ucap Willy Aditya dalam rapat di kompleks parlemen, Rabu (17/11).

Menjelang ketok palu, Esti menarik usulannya setelah mengaku berkomunikasi dengan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi).

Perwakilan fraksi Golkar di Panja tersebut, Supriansa, menilai RUU TPKS telah membawahi aturan soal pencegahan kekerasan seksual.

“Adanya UU ini, maka itu adalah bentuk pencegahan terjadinya tindak pidana. Jadi kalau saya, untuk sementara ya tindak pidana kekerasan ini,” katanya.

Baleg DPR sendiri menargetkan RUU TPKS harus menjadi RUU inisiatif DPR hingga akhir November. Nantinya, RUU TPKS kan dibawa ke Paripurna sebelum dikembalikan ke Baleg untuk dibahas.

[Gambas:Video ]

(thr/arh)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *