Eks Pegawai Pertanyakan Alasan KPK Tak Tagih Data TWK
Alih-alih berlindung di balik dalih tidak memiliki informasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai mestinya menagih data-data terkait hasil asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) alih status pegawai ke instansi terkait.
Sebab, hak dan kewajiban KPK adalah menerima rincian dan rekapitulasi hasil asesmen TWK serta dapat menggunakan dan memanfaatkan seluruh hasil asesmen TWK tanpa persetujuan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Hal itu disampaikan oleh salah satu mantan pegawai KPK yang bertindak sebagai pemohon, Ita Khoiriyah alias Tata, dalam sidang lanjutan sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP), Selasa (16/11).
“KPK tidak bisa berlindung dengan alasan bahwa data-data yang dimintakan oleh 11 pemohon mantan pegawai tidak dalam penguasaan KPK,” ujar Tata dalam keterangan tertulis, Rabu (17/11).
Beberapa data yang dimohonkan ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) KPK yakni hasil asesmen TWK masing-masing pemohon, kertas kerja penilaian, dasar/acuan penentuan unsur-unsur yang diukur dalam asesmen TWK, dasar/acuan penentuan kriteria Memenuhi Syarat (MS) dan Tidak Memenuhi Syarat (TMS), dasar/acuan penunjukan asesor, serta berita acara penentuan lulus atau tidak lulus oleh asesor.
Tata berujar KPK tidak bisa sewenang-wenang berdalih bahwa kerahasiaan data dan informasi mengacu pada fakta perjanjian kerja sama KPK-BKN tidak dipergunakan karena pembiayaan proses alih status menjadi tanggungan BKN.
Hal itu, terang dia, dikarenakan setiap perubahan atau hal-hal yang tidak atau belum cukup diatur dalam kontrak swakelola tersebut diatur kemudian atas dasar pemufakatan para pihak yang dituangkan dalam bentuk amandemen kontrak swakelola yang tidak terpisahkan dan mempunyai kekuatan hukum yang sama.
“Sedangkan, hingga hari ini diketahui tidak ada dokumen amandemen yang mengatur hal-hal baru tersebut,” kata Tata.
Ia keberatan atas penyampaian KPK yang menyebut hasil asesmen TWK merupakan informasi yang dikecualikan mengacu pada Peraturan Panglima TNI-AD Nomor 1708 Tahun 2016. Padahal, peserta asesmen TWK dimaksud adalah pegawai KPK yang bukan bagian dari TNI dan/atau lingkungan TNI.
Menurut Tata, hal tersebut menimbulkan perbedaan pandangan bagi 11 pemohon yang menilai peraturan dimaksud tidak mengikat kepada pegawai KPK yang menjadi peserta TWK dan sudah seharusnya menjadi hak masing-masing individu untuk dapat mengakses hasil asesmen.
“Banyaknya data dan informasi yang tidak berada dalam penguasaan KPK, 11 pemohon mantan pegawai KPK mempertanyakan di mana keberadaan data-data yang dimintakan?” ucap Tata.
“Di samping itu, pemohon juga menanyakan mengapa KPK tidak meminta atau menagihkan hak dan kewajiban atas data dan informasi sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian kerja sama antara KPK-BKN,” sambungnya.
Sebelumnya, 11 mantan pegawai KPK terpaksa menggugat keterbukaan informasi terkait dengan hasil TWK. Langkah itu ditempuh karena permohonan keterbukaan informasi yang dilayangkan kepada PPID KPK tidak memperoleh balasan hingga batas waktu yang ditentukan.
Tata menegaskan, permohonan informasi atas hasil asesmen TWK masing-masing pemohon bertujuan untuk mengetahui landasan yang mengakibatkan pemohon diberhentikan dengan hormat, pelabelan merah dan dianggap tidak bisa dibina.
Banding Administratif
Di luar jalur permintaan informasi ke KPK, para mantan pegawai masih menempuh banding administratif ke Presiden. Merespons itu, pihak Istana kemudian meminta para pegawai berkoordinasi soal itu dengan Polri, Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini menyebut respons pemerintah itu sudah sesuai dengan sikap Presiden dan aturan.
“Ini juga konsisten dengan sikap Presiden kepada Polri yang diijinkan untuk merekrut eks pegawai KPK. Makanya, Polri disebutkan dalam surat itu,” kata Faldo dalam keterangan tertulis, Selasa (16/11).
“Maka, silakan berkoordinasi dengan lembaga terkait, untuk menyelesaikan permasalahan ini dalam koridor peraturan dan UU,” ucap Faldo.
Tata Khoiriyah menyayangkan sikap Presiden Jokowi dan Setneg terhadap banding administratif itu. Ia mengingatkan ada 11 pelanggaran hak asasi manusia dan maladministrasi dalam proses TWK.
|
“Ini seolah-olah masalahnya sekedar pekerjaan saja buat 58 pegawai. Padahal, problem di balik penyingkiran pegawai itu yang seharusnya ditanggapi secara serius demi keadilan, transparansi, dan kredibilitas KPK ke depannya,” kata Tata lewat pesan singkat kepada Indonesia.com, Selasa (16/11).
Selain itu, para mantan pegawai KPK menyiapkan langkah terakhir ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka berencana menggugat pemecatan yang dilakukan para pimpinan KPK.
“Proses hukum tetap lanjut. Kami sudah membicarakan rencana PTUN sejak lama. Jadi masih dalam proses dipersiapkan,” ungkapnya.
Sebelumnya, 58 orang pegawai KPK mengajukan banding administratif ke Presiden Joko Widodo. Mereka mempermasalahkan pemecatan yang dilakukan oleh pimpinan KPK.
Banding administratif adalah salah satu upaya administratif yang bisa ditempuh saat pegawai tidak puas terhadap hukuman disiplin. Upaya ini diatur dalam Pasal 129 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Banding disampaikan kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK), dalam hal ini presiden. Presiden punya kewenangan memeriksa ulang keputusan tata negara berupa pemecatan pegawai KPK.
(ryn/dhf/arh)