Teror Fans Garuda ke Bahrain, Bisa Rugikan Timnas Indonesia?



Jakarta, Indonesia

Apapun dasarnya, atas nama cinta Timnas Indonesia, ancaman verbal pembunuhan suporter Garuda kepada tim Bahrain tidak bisa dibenarkan.

Dampaknya, Bahrain jadi punya alibi atau landasan hukum meminta ke FIFA memindahkan laga antara Indonesia versus Bahrain pada 25 Maret 2025 digelar di tempat netral.

Dalam koridor hukum Indonesia, ancaman pembunuhan ada pasal pidananya. Pun dalam hukum internasional, verbal ancaman pembunuhan bisa berujung petaka.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika sampai FIFA mewujudkan permintaan Bahrain, tim Merah Putih yang akan rugi. Peluang meraih tiga poin di kandang, yang salah satunya berkat ‘teror’ suporter di tribune, bisa sirna.

Rasa kecewa, kesal, emosi, dan amarah suporter usai imbang 2-2 dengan Bahrain memang bisa diterima. Keputusan wasit menambah durasi waktu injury time bisa diperdebatkan.

Namun, menumpahkan rasa-rasa itu dengan ancaman pembunuhan kepada pemain dan tim pelatih lawan, sangat berbahaya. Sepak bola sebagai hiburan, jadi sama sekali tak menghibur lagi.

Dalam sepak bola ada drama, intrik, politik, juga polemik. Semua ini jadi satu kesatuan yang tak bisa dinafikan. Dan, semua unsur itu sudah coba dibangun PSSI dengan lihai dan ciamik.

Sayangnya ada blunder berupa ancaman pembunuhan. Dalam satu dekade terakhir kekuatan suporter Timnas makin diakui dunia, tetapi aksi ‘terorismenya’ merusak citra dan bisa jadi bumerang.

Karena itu, satu-satunya jalan agar ‘diving’ Bahrain meminta FIFA memindah lokasi laga melawan Indonesia di tempat netral tak terwujud adalah dengan tak terprovokasi intrik lawan.

Jangan ada lagi ancaman-ancaman verbal. Meminjam istilah kondang anak-anak jaman sekarang, ‘cukup serang batinnya’. Ancaman kekerasan sama sekali tak membuat menang.

Saat ini Timnas Indonesia sedang mencoba naik kelas. Dari tim guram menjadi kuda hitam, dan selanjutnya elite Asia. Suporter Timnas pun pantasnya demikian pula.

Bersambung ke halaman berikutnya…

Benarkah bermain terbuka atau ofensif bukan gaya Timnas Indonesia? Apakah taktik defensif dengan memaksimalkan serangan balik lebih cocok dengan gaya permainan Jay Idzes cs?

Satu rumus tak tertulis dalam sepak bola, jika tim sukses itu berkat kerja keras tim di lapangan, tetapi saat kalah itu tanggung jawab pelatih. Rumus ini berlaku pula untuk Timnas.

Kegagalan Indonesia meraih tiga poin atas Bahrain dan China dengan kata lain tanggungjawab Shin Tae Yong. 

Sejak dikontrak PSSI untuk Timnas Indonesia pada 28 Desember 2019, gaya main Shin memang defensif. Pola defensif ‘brutal’ dipakai saat lawan Vietnam di Piala AFF 2020 (2021).

Setelah itu, Shin seperti menemukan rumus jitu. Saat bertemu lawan kuat, permainan defensif jadi senjata meraih poin. Hanya saat melawan tim lemah Shin berani tampil ofensif.

Saat Shin nekad main ofensif melawan tim kuat, permainan tak mengecewakan. Namun hasilnya buruk. Hasil melawan Australia di Piala Asia 2023 (2024) adalah buktinya. Lihat statistik!

Hal sama terulang melawan China. Indonesia sangat dominan menguasai permainan, tetapi hasilnya kalah 1-2. Dan, lagi-lagi yang jadi koreng adalah antisipasi bola mati dan fokus.

Dari laga ke laga, setiap kebobolan, selalu saja skema lawan tak jauh berbeda, kalau tidak bola mati; injury time; blunder karena kurang fokus. Kebobolan bukan karena cerdik lawan.

Sebab itu, dalam enam laga tersisa, melawan Jepang, Arab Saudi, Australia, Bahrain, China, dan Jepang, pola kebobolan semacam ini jangan sampai terulang-ulang terus.

Bagaimana dengan lini depan yang tumpul? Itu lain cerita. Ini terkait sumber daya pemain yang ada. Jika defensif menang efektif, mengapa terburu-buru main ofensif dengan lawan sulit.

Pekerjaan Shin memang sulit. Untuk itu ia dikontrak. Dan, sebagai suporter tugasnya memberi dukungan yang terukur. Tak asal main serang. Ujungnya bisa jadi buah simalakama.

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *