Kasus Pornografi Deepfake di Korsel, Polisi Dakwa 4 Siswa Sekolah




Jakarta, Indonesia

Empat siswa sekolah menengah dari Namyangju, Provinsi Gyeonggi di Korea Selatan telah didakwa oleh polisi karena membuat, memiliki, dan mendistribusikan pornografi deepfake.

Di Korea Selatan, siswa umumnya berusia sekitar 12 tahun saat memasuki tahun pertama sekolah menengah dan berusia 15 tahun saat lulus.

The Korea Herald melaporkan bahwa Badan Kepolisian Provinsi Gyeonggi Bukbu kemarin (26/10) mengumumkan penyelidikan dimulai setelah para korban melaporkan insiden tersebut pada Agustus 2024.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dua siswa diduga menggunakan gambar teman sekelas perempuan mereka untuk memproduksi konten deepfake yang eksplisit secara seksual sejak November 2023.

Orang-orang ini menghadapi tuntutan tambahan karena memiliki materi deepfake dan membagikannya dengan dua siswa lainnya, yang didakwa semata-mata atas kepemilikan.

Keempat siswa tersebut dituntut berdasarkan Undang-Undang tentang Kasus Khusus Mengenai Hukuman Kejahatan Seksual, yang mengkriminalisasi kepemilikan gambar deepfake yang eksplisit secara seksual oleh anak di bawah umur di Korea Selatan.

Hingga saat ini, polisi telah mengidentifikasi sembilan korban perempuan, meskipun jumlahnya mungkin bertambah seiring berjalannya penyelidikan.

Para detektif telah menggeledah rumah dan perangkat seluler para siswa untuk mengumpulkan bukti adanya potensi pelanggaran lebih lanjut.

Kasus tersebut, yang awalnya dilaporkan ke Kantor Polisi Namyangju Bukbu, kini sedang diselidiki oleh Biro Investigasi Siber dari Badan Kepolisian Provinsi Gyeonggi Bukbu.

Situasi memanas setelah para korban memberi tahu sekolah mereka tentang pembuatan gambar deepfake eksplisit yang menampilkan mereka dan teman-teman mereka.

Sebagai tanggapan, sekolah merujuk kasus tersebut ke Kantor Pendidikan Guri Namyangju, yang kemudian membentuk Komite Peninjauan Penanggulangan Kekerasan Sekolah.

Komite ini memutuskan bahwa dua siswa yang bertanggung jawab atas pembuatan konten tersebut harus dipindahkan, sementara yang lainnya akan menghadapi skorsing.

The Korea Herald melaporkan bahwa orang tua korban telah menyuarakan kekhawatiran mengenai penanganan kasus oleh sekolah, dengan mengklaim bahwa hal itu menyebabkan “viktimisasi sekunder.”

Mereka menduga bahwa tanggapan sekolah yang terlambat, khususnya penantian selama dua bulan untuk memisahkan korban dari tersangka, memperburuk trauma bagi siswa yang terdampak.

Viktimisasi sekunder mengacu pada trauma lebih lanjut yang dialami korban karena ketidakpekaan atau sikap meremehkan dari orang lain.

Menurut The Korea Herald, statistik dari Komite Peninjauan Penanggulangan Kekerasan Sekolah mengungkapkan bahwa dari tahun 2021 hingga Agustus 2024, terdapat 1.727 pelanggaran seks digital yang dilaporkan oleh siswa.

Dari jumlah tersebut, 765 kasus (44,3 persen) berujung pada seruan untuk “hukuman berat” terhadap para pelanggar.

Pelanggaran yang dilaporkan meliputi pembuatan dan pendistribusian video deepfake yang eksplisit secara seksual, beserta perekaman dan penyebaran konten tersebut secara ilegal.

(wiw)


[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *