Profil Khaled Mashal, Calon Pemimpin Hamas yang Pernah Diracun Israel




Jakarta, Indonesia

Khaled Mashal menjadi perhatian usai pemimpin Hamas Yahya Sinwar tewas dalam serangan Israel pada Rabu (16/10). Ia digadang-gadang akan menduduki posisi puncak di Hamas, menggantikan Yahya Sinwar.

“Sumber-sumber mengonfirmasi bahwa Mashal mengambil peran sebagai pemimpin sementara Hamas,” demikian laporan media Lebanon, LBCI, yang dikutip TASS.

Mashal lahir di Silwad, Tepi Barat, pada 28 Mei 1956, yang saat itu masih di bawah kendali Yordania.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menghabiskan masa kecilnya di Tepi Barat. Mashal dan keluarganya lalu pindah ke Kuwait usai Israel merebut wilayah itu pada 1967, demikian dikutip dari Britannica.

Di Kuwait, ayah Mashal bekerja sebagai buruh tani dan penceramah.

Latar belakang keluarga yang tak jauh dari agama, membuat dia menjadi sosok religius. Di usia 15 tahun, Mashal bahkan sudah bergabung dengan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Kuwait. Organisasi ini berperan penting dalam pembentukan Hamas pada 1980-an.

Kemudian pada 1974, Mashal melanjutkan pendidikan di Universitas Kuwait mengambil program studi Fisika. Setelah lulus, ia menjadi pengajar di jurusan yang sama sembari aktif di gerakan Islam Palestina.

Satu dekade kemudian, ia memilih berhenti mengajar dan fokus ke dunia politik. Mashal kian aktif berorganisasi dan mengumpulkan dana untuk membangun jaringan layanan sosial di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Pada 1990, saat Irak menginvasi Kuwait, dia pindah ke Yordania. Di sini, cikal bakal Politbiro Hamas terbentuk di bawah tangan Mashal.

Mashal menjadi ketua politbiro Hamas pada 1992. Biro ini beroperasi di luar Palestina dan sulit dijangkau Israel, serta bertanggung jawab membangun hubungan internasional dan jadi tulang punggung negosiasi Hamas.

Posisi itu membuat dia menjadi incaran Israel. Pada 1997, agen pemerintahan Benjamin Netanyahu menyuntik racun ke Mashal.

Netanyahu mengklaim aksi itu sebagai balasan pengeboman di pasar Yerusalem yang menewaskan 16 orang, demikian dikutip dari Reuters.

Raja Yordania saat itu, Hussein, seketika murka. Dia bahkan menyebut akan memberi hukuman gantung ke pelaku dan membatalkan perjanjian damai dengan Israel.

Hussein bersedia melanjutkan perjanjian damai jika Israel memberikan penawar.

Israel setuju. Mereka juga sepakat membebaskan pemimpin Hamas Sheikh Ahmed Yassin yang kemudian dibunuh tujuh tahun setelah itu.

Kejadian ini membuat nama Mashal melejit dan dikenal dunia. Ia bahkan dianggap sebagai pahlawan perlawanan Palestina.

Bagi pendukung Palestina, Mashal dan pimpinan Hamas lain merupakan pejuang atas pendudukan Israel di Palestina.

Namun, seiring berjalannya waktu hubungan Hamas dan Yordania memburuk. Amman menutup kantor kelompok ini dan mengusir Mashal ke Qatar.

Lalu pada 2001, ia pindah ke Suriah dan memimpin Hamas dari Damaskus.

Namun, sikap keras Presiden Bashar Al Assad terhadap warga Sunni, aliran keyakinan Hamas, membuat Mashal tak bisa lama-lama di Suriah.

Konflik internal Hamas

Mashal juga sempat berselisih dengan pimpinan Hamas di Gaza. Dia mendorong kelompok ini untuk rekonsiliasi dengan Otoritas Palestina yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas dari faksi Fatah.

Namun, pimpinan Hamas di Gaza menolak. Mereka bersumpah akan merebut kembali Tepi Barat.

Hamas selama ini mengendalikan dan menguasai Jalur Gaza, sementara Tepi Barat dipegang Otoritas Palestina yang dalam hal ini adalah Fatah.

Perselisihan itu membuat Mashal mundur dari kursi pimpinan Hamas. Lalu pada 2017, Ismail Haniyeh, yang tewas dalam serangan Israel pada Juli lalu, menggantikan dia.

Sikap ke Israel
Mashal sebetulnya sempat menolak gagasan kesepakatan damai permanen.

Namun, dia menyebut Hamas bisa menerima negara Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai solusi sementara dengan imbalan gencatan senjata jangka panjang.

Terkait agresi Israel di Gaza sejak Oktober 2023, Mashal sempat mendesak negara Arab dan Muslim untuk bergabung dalam pertempuran melawan Israel.

Dia juga mengatakan hanya Palestina yang akan memerintah Gaza usai agresi berakhir.

Sejumlah pengamat juga menduga negosiasi gencatan senjata kian sulit jika Mashal menjadi pemimpin karena sikap keras dia ke Israel.

Selain itu, bagaimana negosiasi bisa berlangsung jika lawan terus membunuh pihak-pihak yang terlibat dalam upaya perdamaian.

(isa/vws)





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *