Poin-poin Evaluasi Dokter PPDS Usai Marak Kasus Pelecehan Seksual
Daftar Isi
Jakarta, Indonesia —
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi telah melangsungkan konferensi pers untuk menyampaikan upaya perbaikan imbas marak kasus pelecehan dan atau kekerasan seksual yang melibatkan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), Senin (21/4).
Sejumlah langkah perbaikan disepakati guna mencegah pengulangan kasus. Indonesia.com merangkum beberapa poin yang disampaikan secara terbuka tersebut.
Pemeriksaan psikologi rutin
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin ingin pemeriksaan psikologi rutin dilakukan untuk mengidentifikasi kondisi kejiwaan peserta PPDS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Pada saat rekrutmen dari calon peserta pendidikan dokter spesialis itu diwajibkan untuk mengikuti tes psikologis,” ujar Budi dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin (21/4).
Rombak sistem
Dua kementerian tersebut di atas menyepakati akan merombak sistem pendidikan kedokteran. Beberapa langkah konkret yang menjadi fokus untuk diperbaiki adalah pemberlakuan tes psikologis secara rutin.
Budi juga meminta proses rekrutmen dilakukan dengan transparan sehingga tidak ada preferensi khusus yang mengakibatkan kesalahan dalam memilih dokter.
“Kami juga ingin memastikan bahwa afirmasi bagi putra-putri daerah yang masih kekurangan dokter spesialis kita lakukan, karena kita sudah hampir 80 tahun merdeka, distribusi dokter spesialis ini selalu bermasalah, karena memang kebanyakan yang masuk adalah bukan yang berasal dari tempat-tempat yang akan perlu diisi,” kata Budi.
“Sehingga perlu sekali afirmasi bagi putra-putri daerah untuk mengisi informasi dokter-dokter spesialis yang banyak sekali kosong di kota-kota di luar Jawa,” imbuhnya.
Budi mendapat informasi pendidikan dokter spesialis di rumah sakit-rumah sakit tidak dilakukan langsung oleh konsulennya, berdampak pada kualitas para koas dan residen itu sendiri.
“Di negara-negara lain di seluruh dunia pendidikan dokter spesialis ini dilakukan oleh konsulennya,” ungkap dia.
Jam kerja
Sementara untuk pelayanan di rumah sakit, Budi meminta pendisiplinan jam kerja bagi peserta didik dokter spesialis dilakukan tanpa kecuali.
“Kami mendengar bahwa para peserta didik dokter spesialis ini dipaksa bekerja luar biasa. Banyak yang bilang katanya ini untuk latihan mental, tapi menurut saya terlalu berlebihan. Aturan-aturan mengenai jam kerja bagi peserta didik itu sudah ada,” kata Budi.
Di samping itu, Budi mengaku sering mendengar kasus peserta didik yang disuruh-suruh melakukan pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya. Untuk itu, ia berharap agar ke depan rumah sakit-rumah sakit bisa melakukan pembenahan.
“Mereka harus dorong-dorong tempat tidur pasien. Mereka harus bekerja disuruh-suruh sebagai kurir yang membawa bukti pemeriksaan lab atau request pemeriksaan lab, pengambilan obat, itu bukan tugas mereka. Itu sudah ada orang lain yang bertugas di rumah sakit pendidikan,” tutur Budi.
“Jadi, harus diawasi oleh para direktur utama pendidikan bahwa mereka benar-benar bekerja sebagai dokter yang belajar kompetensi yang lebih tinggi. Bukan digunakan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak esensial,” kata dia menambahkan.
Evaluasi ruangan kosong
Kementerian Kesehatan juga akan mengevaluasi ruangan kosong di rumah sakit imbas kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh peserta PPDS di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.
“Kalau kita lihat kejadian di RSHS, kejadian ini terjadi di ruangan kosong. Oleh sebab itu maka harus ada perbaikan SOP berkaitan dengan keberadaan ruang kosong yang ada di rumah sakit,” ujar Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Kemenkes Azhar Jaya.
Acho, sapaan akrabnya, mengatakan para koas atau residen juga akan dilarang ke luar ruangan membawa spesimen ataupun obat-obatan.
“Terkait dengan keberadaan residen atau koas dalam tanda kutip membawa obat-obatan, walaupun ada indikasi obat-obatan dari luar, tapi ini akan menjadi perhatian kami,” ucap Acho.
Ribuan laporan
Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan menerima 2.621 laporan mengenai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Tiga di antaranya berkaitan dengan dugaan pelecehan seksual oleh PPDS.
“Kami di Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan sejak tahun lalu sudah membuka akses layanan pelaporan perundungan, dan sampai 30 Maret kemarin, kami sudah mendapatkan laporan sebanyak 2.621,” kata Inspektur Jenderal Kemenkes Murti Utami.
Ia menjelaskan dari ribuan laporan itu yang masuk kategori perundungan sebanyak 620 laporan.
“Secara spesifik pemerkosaan tidak ada, tapi memang ada pelaporan pelecehan seksual dari peserta PPDS. Itu ada 3 laporan yang sudah masuk dan sudah kita tindak lanjuti,” ungkap Murti.
Sementara itu, dari 620 laporan perundungan yang masuk, tempat kejadian perkara atau locus berada di Rumah Sakit Vertikal Kemenkes sebanyak 363 laporan. Sedangkan di luar Rumah Sakit Vertikal ada 257 laporan.
“257 ini biasanya saya berkolaborasi dengan ibu Irjen Kemendikti Saintek untuk locus-locus-nya di mana,” kata Murti.
Dalam beberapa waktu terakhir, setidaknya ada empat kasus pelecehan dan atau kekerasan seksual yang melibatkan peserta PPDS di Bandung, Garut, Malang dan Jakarta. Para pelaku sedang diproses etik dan hukum.
(ryn/dal)