Jakarta, Indonesia —
Nama Presiden kedua RI Soeharto masuk daftar 10 usulan Kementerian Sosial sebagai pahlawan nasional yang ditetapkan pada 2025 ini.
Soeharto diusulkan dari Provinsi Jawa Tengah. Dia diusulkan jadi pahlawan nasional bersama dengan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Jawa Timur), Bisri Sansuri (Jawa Tengah), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), dan Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat).
Kemudian, empat nama baru yang diusulkan tahun 2025 ini adalah Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Midian Sirait (Sumatera Utara), dan Yusuf Hasim (Jawa Timur).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional menimbulkan pro dan kontra. Pasalnya, Soeharto yang lekat dengan ABRI (kini TNI) dan Golkar selama berkuasa itu merupakan penguasa Orde Baru (Orba) yang dijatuhkan reformasi 1998. Gelombang reformasi 1998 yang menjatuhkan 32 tahun Orde Baru lahir dengan tuntutan utama menghapuskan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Sejarawan UGM Sri Margana mengatakan seorang pahlawan nasional menurut definisi undang-undang tidak boleh cacat moral dan politik sepanjang hidupnya.
Ia menyebut riset-riset tentang sejarah politik Orba menunjukkan rezim Soeharto banyak melakukan pelanggaran HAM berat.
“Bahkan pemerintahannya berakhir dengan banyak skandal dan diberhentikan secara paksa melalui people power. Jadi bisa menilai sendiri, apakah ia pantas atau tidak menjadi seorang pahlawan nasional,” kata Sri saat dihubungi Indonesia.com, Selasa (22/4).
Sejarawan Andi Achdian berpendapat serupa. Ia mengatakan banyak orang yang mengukur keberhasilan pembangunan dan ekonomi di masa Soeharto.
Namun di sisi lain, rezim Soeharto terlibat dalam pelanggaran HAM berat masa lalu. Pelanggaran-pelanggaran ini bahkan telah diakui oleh negara.
“Maka dengan standar itu saja kita sudah bisa bilang tidak mungkin lah seorang pahlawan punya cela,” ujar pengajar dari Universitas Nasional tersebut.
Andi menilai ada upaya coba-coba alias ‘test the water‘ di balik pengusulan kembali nama Soeharto sebagai pahlawan nasional. Upaya tersebut, duganya untuk melihat sejauh mana publik lupa tentang kejahatan di orde baru.
“Maka saya kira harus diwariskan tentang ingatan kolektif tentang kejahatan HAM masa lalu itu harus diwariskan,” ujar pengampu Jurnal Sejarah tersebut.
‘Dosa’ dan jasa Soeharto
Sementara itu, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan pihaknya berulang kali menolak usul soal gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.
Sejak bertahun-tahun lalu, Imparsial bersama Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas sejumlah tokoh dan organisasi sipil mengeluarkan sikap menolak pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto.
Saat dihubungi pekan ini, Ardi mengatakan usul pemberian gelar pahlawan nasional itu melukai rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi di zaman Soeharto. Dia lalu menyinggung sejumlah kasus di zaman Soeharto.
“Seperti tragedi 1965, peristiwa Tanjung Priok, tragedi Talangsari Lampung, kasus penembakan misterius (petrus), kasus Marsinah, konflik dan kekerasan di Aceh dan Papua, penculikan aktivis 1997-98, semanggi I dan II. Sampai saat ini para korban pelanggaran HAM tersebut belum mendapat keadilan,” kata Ardi kepada Indonesia.com, Selasa.
Pihaknya menilai dosa Soeharto lebih besar dari jasanya. Soeharto, kata dia, adalah simbol pemimpin yang korup, militeristik, dan otoriter.
Menurutnya, persepsi dunia internasional akan semakin buruk terhadap bangsa Indonesia jika Soeharto dijadikan pahlawan.
“Ditambah lagi jika Soeharto [jadi] pahlawan [nasional], maka Gerakan reformasi 1998 bisa dianggap cacat, apakah eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 mau disebut pengkhianat atau penjahat karena pemimpin yang mereka tumbangkan kemudian disebut sebagai pahlawan?” ujarnya.
Baca halaman selanjutnya…
Pengamat sejarah dari Universitas Nasional, Andi Achdian mengkritik soal perkembangan pemberian gelar pahlawan nasional di Indonesia saat ini. Menurutnya usulan seseorang menjadi pahlawan nasional kini seolah telah menjadi sebuah ‘industri’.
Dalam prosesnya, ia menyebut pengusulan dari tingkat kabupaten/kota pasti memerlukan seminar yang tentu mengeluarkan biaya.
“Jadi kalau kita ikutin prosesnya dari bawah, kan dari tingkat kabupaten, kota, Di situ kan harus ada buku, harus ada seminar, konferensi. Terus sampai naik ke atas, kita bisa lihat betapa biaya yang dikeluarkan untuk itu, ada ongkosnya kan,” ujar Andi.
Dalam konteks usulan nama penguasa Orba, Soeharto, jadi pahlawan nasional, dia menduga ada pihak yang mengeluarkan biaya untuk menggulirkannya.
Lebih lanjut, Andi setuju dengan usul yang pernah muncul soal moratorium untuk pemberian gelar pahlawan nasional beberapa waktu lalu.
“Makanya ada usulan seperti misalnya ada moratorium pahlawan nasional ya, Saya kira betul juga karena memang ini udah industri gitu, udah bisnis,” katanya.
Merespons polemik usulan Soeharto jadi pahlawan nasional, beberapa waktu lalu Menteri Sosial Saifullah Yusuf pun buka suara. Pria yang karib disapa Gus Ipul menjelaskan alur pengusulan Soeharto sebagai pahlawan dimulai dari masyarakat.
“Masukan dari masyarakat lewat seminar, dan lain sebagainya. Nah, setelah seminar selesai, ada sejarawannya, ada tokoh-tokoh setempat, dan juga narasumber lain yang berkaitan dengan salah seorang tokoh yang diusulkan jadi pahlawan nasional,” ujar pria yang juga dikenal sebagai Sekretaris Jenderal PB Nahdlatul Ulama tersebut.
Dia memaparkan setelah usulan tersebut diterima bupati/wali kota, maka akan disampaikan kepada gubernur yang lalu dilanjutkan lagi prosesnya sampai ke tangan Kemensos.
“Setelah itu, nanti prosesnya naik ke atas, ke gubernur. Ada seminar lagi, setelahnya baru ke kami,” katanya.
Selanjutnya, Kemensos melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial akan membuat tim untuk memproses semua usulan pahlawan nasional.
“Timnya juga terdiri dari berbagai pihak. Ada akademisi, sejarawan, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat,” kata Gus Ipul.
“Nah, setelah itu, nanti kami matangkan. Saya akan mendiskusikan, dan memfinalisasi. Kami tanda tangani. Langsung kami kirim ke Dewan Gelar,” imbuhnya.
Sementara itu, Juru Bicara Istana Prasetyo Hadi menilai tidak ada yang salah dengan usulan agar Soeharto dijadikan pahlawan nasional.
Menurutnya sebuah hal yang wajar apabila mantan kepala negara diusulkan sebagai pahlawan nasional.
“Saya kira kalau kami merasa bahwa, apa salahnya juga? Menurut kami, mantan-mantan presiden itu sudah sewajarnya untuk kita mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara kita,” kata Prasetyo.
Prasetyo meminta publik tidak hanya melihat kekurangan dari Soeharto melainkan juga prestasi selama kepemimpinannya.
[Gambas:Photo ]
Sementara itu Partai Golkar yang memiliki kedekatan sejarah dengan Soeharto mengakui pihaknya mengusulkan pula Presiden kedua RI tersebut jadi pahlawan nasional.
Ketua DPP Golkar Hetifah Sjaifudian menjelaskan usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional dilayangkan oleh MPR Fraksi Golkar setelah melakukan pembahasan internal.
Salah satunya, usulan itu turut dibahas bersama Satkar Ulama Indonesia yang merupakan organisasi sayap Partai Golkar.
“Ya tentu kita menghargai usulan tersebut dan kami sebagai ya tentu saja bagian dari Golkar akan men-support apapun hal yang positif untuk kepentingan bangsa,” ujar dia di Hotel Pullman, Jakarta, Senin (21/4) malam.
Fraksi Golkar di MPR juga menjadi salah satu aktor yang mengusulkan mencabut nama Soeharto dari TAP MPR II/1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). TAP MPR tersebut dicabut mendekati akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024.
Sebelumnya di dalam TAP MPR itu, yakni pada Pasal 4, mengamanatkan pemberantasan KKN bagi pejabat negara, dan secara eksplisit menuliskan nama Soeharto.
Keputusan pencabutan TAP MPR itu kemudian disampaikan dalam Rapat Akhir Masa Jabatan MPR periode 2019-2024 di kompleks parlemen, Rabu (25/9/2024).
“Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor XI/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia,” kata Ketua MPR kala itu, Bambang Soesatyo saat membaca putusan.
Kala itu, Bamsoet menjelaskan MPR menindaklanjuti surat dari Fraksi Golkar pada 18 September 2024 untuk mencabut nama Soeharto dari TAP MPR tersebut.