Hari Bumi 2025 dan Wasiat Mendiang Paus Fransiskus di Laudato Si




Jakarta, Indonesia

Setiap tahun tanggal 22 April diperingati sebagai Hari Bumi Sedunia. Pada tahun ini, perayaan Hari Bumi diiringi suasana duka karena berselang satu hari dari berpulangnya Paus Fransiskus.

Namun begitu, momen ini seharusnya bisa menjadi pemicu untuk mengingat lagi pesan-pesan mendiang Paus Fransiskus soal menjaga Bumi.

Peringatan ini bukan sekadar seremonial. Hari Bumi menjadi pengingat bahwa Bumi sekadar tempat tinggal, melainkan warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sehari sebelum peringatan Hari Bumi 2025, kabar duka menyelimuti warga dunia. Paus Fransiskus wafat di usia 88 tahun.





Paus Fransiskus meninggalkan beragam pesan semasa hidupnya, salah satunya adalah Laudato Si yang mendorong umat manusia untuk menjaga lingkungan dan menekan dampak krisis iklim.

Diterbitkan pada 2015, surat ensiklik ini merupakan yang pertama kali ditulis oleh seorang Paus tentang masalah lingkungan hidup. Pesan ini kemudian membuat gelombang baik di dalam maupun di luar Gereja.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon memuji dokumen tersebut karena “pesan moralnya,” sementara novelis India Pankaj Mishra menyebutnya sebagai “kritik intelektual yang paling penting di zaman kita.”

Laudato Si juga berdampak pada kebijakan. Surat ensiklik atau amanat ini sering disebut berkontribusi sebagai dorongan membangun konsensus menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015 di Paris, ketika 196 negara menandatangani perjanjian yang berjanji untuk menjaga pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius.

Laudato Si menggabungkan refleksi teologis tentang pentingnya kepedulian terhadap alam dengan seruan untuk melakukan tindakan politik yang radikal.

Paus menulis, misalnya, bahwa “alam semesta terbentang di dalam Tuhan, yang mengisinya sepenuhnya. Oleh karena itu, ada makna mistik yang dapat ditemukan dalam sehelai daun, jejak gunung, tetesan embun, dan wajah orang miskin. Berdiri terpesona di depan gunung, kita tidak dapat memisahkan pengalaman ini dari Tuhan” (233).

Renungan ini membuat Paus mengutuk “politik yang mementingkan hasil yang segera, yang didukung oleh sektor-sektor konsumerisme dalam masyarakat” dan “didorong untuk menghasilkan pertumbuhan jangka pendek.”

Paus menyebut yang kita butuhkan adalah “cara berpikir baru tentang manusia, kehidupan, masyarakat dan hubungan kita dengan alam” (178).

Dikutip dari Vatican News, inti dari Laudato Si adalah gagasan ‘ekologi integral.’ Gagasan ini menekankan bahwa krisis iklim secara intrinsik terkait dengan masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi saat ini, dan tidak dapat diatasi secara terpisah.

“Kita tidak dihadapkan pada dua krisis yang terpisah, satu krisis lingkungan dan satu lagi krisis sosial, melainkan satu krisis kompleks yang bersifat sosial dan lingkungan,” tulis Paus.

Oleh karena itu, ia menyebut kita membutuhkan “pendekatan terpadu untuk memerangi kemiskinan”, yang “melindungi alam” dan pada saat yang sama “memulihkan martabat orang-orang yang tersingkir” (139).

Paus Fransiskus berpendapat bahwa “pembangunan manusia yang integral”, atau pembangunan yang tidak memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi di atas segalanya.

Meskipun pertumbuhan itu penting, katanya, kita harus memastikan bahwa pertumbuhan itu dipromosikan bersama dengan hal-hal lain yang bernilai, termasuk alam, budaya manusia, orang miskin dan rentan, dan kehidupan hewan.

Tobat ekologis

Tobat ekologis atau pertobatan ekologis adalah sesuatu yang tak asing bagi umat Katolik. Pertobatan ekologis itu termuat dalam ensiklik Paus Fransiskus berjudul ‘Laudato Si’ yang terbit pada 24 Mei 2015.

“Ensiklik Laudato Si adalah satu surat pastoral Paus Fransiskus yang fokus pada isu-isu lingkungan hidup di mana di dalamnya terdapat prinsip-prinsip teologis tentang tanggung jawab ekologi juga upaya-upaya pastoral yang harus dilakukan untuk atasi krisis-krisis ekologi,” kata Sekretaris Eksekutip Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Romo Marthen Jenarut saat dihubungi Indonesia.com tahun lalu.

Dalam ensiklik Laudato Si itu juga disampaikan krisis ekologi berpotensi menyebabkan krisis kemanusiaan lainnya, termasuk ketidakadilan. Dan penyebab utama krisis ekologi adalah egosentrisme manusia. Karenanya, muncul ajakan untuk melakukan pertobatan ekologis.

“Pertobatan ekologis itu berarti ajakan memahami bumi adalah saudara kita bukan obyek eksploitasi dan ajakan ubah perilaku supaya ramah lingkungan baik dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat,” ucap dia.

“Dalam konteks sosio politis, pertobatan ekologis diterjemahkan sebagai upaya untuk menjaga keutuhan lingkungan hidup dan menjamin kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan (suistanable development),” sambungnya.

Romo Marthen menyampaikan yang paling utama dalam pertobatan ekologis itu adalah bagaimana mengubah perilaku untuk lebih mencintai lingkungan.

“Tobat ekologi sama arti ubah perilaku dan bangun habitus atau kebiasaan-kebiasaan baik, peduli dan cinta lingkungan hidup. Ubah mindset dan ubah perilaku,” ujarnya.

(lom/dmi)

[Gambas:Video ]



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *