Keluhan Anggaran hingga Eijkman Masuk BRIN



Jakarta, Indonesia

Sekitar sebulan sebelum dilantik sebagai presiden meski sudah dinyatakan terpilih dalam Pilpres 2014, Joko Widodo (Jokowi) menghadiri sebuah undangan yang dikirim oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Lebih dari seratus ilmuwan LIPI hadir, semua penasaran dan ingin tahu apa komitmen presiden terpilih ini untuk dunia sains dan riset. Meski selalu jadi sorotan, tak banyak yang tahu seperti apa minat dan atensi mantan Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta itu terhadap kemajuan ilmu pengetahuan Indonesia.

Kepala LIPI saat itu, Lukman Hakim, duduk di sebelah Jokowi dan turut memandu acara. Seperti hampir semua diskusi tentang isu kemajuan riset di Indonesia, pembicaraan akhirnya mengerucut pada isu dana.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Jadi Pak Lukman, anggaran untuk riset ini yang ideal berapa?” Jokowi tiba-tiba bertanya.

Meski nampak sempat kaget, Lukman kemudian menjawab bahwa secara umum acuan dana minimum untuk kemajuan penelitian global dipatok 1 persen dari total PDB (produk domestik bruto) sebuah negara.

Jokowi rupanya tak merasa jawaban ini cukup. Ia bertanya kembali: “Iya, rupiahnya berapa?”

Idealnya, Lukman menjawab, penelitian di Indonesia membutuhkan anggaran sebesar Rp80 triliun. Sementara di bawah administrasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu, hanya dianggarkan Rp10,4 triliun.

Giliran Jokowi yang ganti terkejut.

“Jauh sekali, ya. Saya tidak janji sampai Rp80 triliun, enggak janji. Tapi kalau dilipatkan, saya akan usahakan,” tambahnya.

Hingga 2018, menurut catatan BRIN, anggaran untuk seluruh pos penelitian dan pengembangan yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga mencapai Rp26 triliun.

Pada tahun 2023, anggaran itu justru turun drastis menjadi Rp14,36 triliun, sudah termasuk penambahan untuk dana abadi penelitian sebesar Rp5 triliun per tahun.

Eijkman dan BRIN dipermasalahkan

Satryo Soemantri Brodjonegoro sempat menjabat sebagai Dirjen Pendidikan Dikti (1999-2007) di bawah pemerintahan tiga presiden sekaligus: Gus Dur, Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Satryo kemudian juga menjabat sebagai Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), lembaga paling prestisius yang mewadahi saintis terkemuka di Indonesia. Jabatan Ketua AIPI disandangnya hingga tahun 2023, di bawah pemerintahan Presiden Jokowi.

Meski pernah menyempatkan diri bertemu para peneliti LIPI sebelum dilantik, menurut Satryo setelah menjabat Jokowi justru menjaga jarak dengan ilmuwan. Berkali-kali Presiden menolak bertemu AIPI.

“Jokowi enggak mau. (AIPI) Minta ketemu, enggak dikasih,” kata Satryo Satryo kepada Indonesia Juli lalu.

Bukan kali ini saja AIPI ditolak bertemu presiden. Sebelunya di era Presiden SBY, AIPI juga ditolak.

“Puluhan tahun mau ketemu presiden enggak dikasih sebagai ketua AIPI itu. Itu aneh. Kalau di Amerika Serikat, Science Academy respected oleh presiden dan sebagainya. Cina apalagi. (Di) Indonesia AIPI nggak penting,” katanya.

Komunikasi buntu ini menurut Satryo turut menyumbang pada kebijakan sains yang merugikan pengembangan sains. Para pengambil keputusan beranggapan riset harus berujung pada penciptaan produk dan inovasi baru untuk menjustifikasi turunnya anggaran. Sampai saat ini menurut Satryo Indonesia tak punya riset dasar memadai.

“Hasil riset diharuskan berwujud. Hal ini membuat kita punya riset itu nggak berkembang sama sekali,” katanya.

Padahal menurut Satryo, tanpa riset dasar, otomatis riset yang lain juga tidak berjalan.

Akibatnya selama ini riset di Indonesia tidak murni sebuah riset, namun hanya sekadar memperbaharui, meningkatkan atau memodifikasi teori, produk sistem dan sebagainya,.

“Itu yang saya alami,” ujar Satryo.

BRIN dibentuk, Eijkman ‘hilang’

Sebagian kalangan akademisi kemudian juga mempertanyakan dibentuknya BRIN yang menggabungkan sedikitnya 47 unit litbang di berbagai lembaga pemerintah secara paksa.

Termasuk dalam peleburan itu adalah dipindahkannya Lembaga Penelitian Biomolekuler Eijkman, sebuah laboratorium penelitian biologi molekuler peninggalan Belanda yang sudah berdiri sejak 1888. Eijkman adalah nama penerima hadiah Nobel Kedokteran yang meneliti tentang penyakit beri-beri di Indonesia.

Sempat diakui sebagai salah satu pusat penelitian biomolekuler yang dihormati di Asia, tahun 2021 Eijkman yang semula berada di bawah Kementerian Riset dan Teknologi era Presiden Habibie, ditarik menjadi unit di bawah BRIN. Meski sebagian pegawai dan peneliti tetap berada di bawah Eijkman dengan status aparatur sipil negara (ASN), 113 lainnya keluar.

Laboratorium Eijkman yang semula menempati gedung dalam komplek RS Cipto Mangunkusumo milik Kementerian Kesehatan, dipindahkan ke pusat penelitian BRIN Cibinong.

Semua ini terjadi di tengah upaya Eijkman meneliti vaksin Covid-19.

“Habis sudah, kan? Padahal itu dulu lembaga yang punya reputasi karena (hadiah) Nobel kan dari situ. Dari Eijkman kan ada hadiah Nobel. Dimatikan, dihilangkan bekas-bekasnya. Sampai gitu, kayak dendam kesumat gitu. Dimatikan aja,” tambah Satryo.

Tuduhan pembubaran Eijkman dibantah. Saat resmi berdiri dengan dasar Kepres 74/2019, mandat BRIN antara lain adalah untuk menjadi satu-satunya. Hal ini menjadikan BRIN sebagai satu-satunya lembaga pemerintah yang menyelenggarakan penelitian.

“Eijkman masih ada, namanya Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman. Eijkman itu belum pernah jadi lembaga. Justru setelah BRIN jadi resmi, dulu kan cuma proyek,” kata Kepala BRIN Laksana TRi Handoko.

Handoko juga menunjukkan bahwa staf Eijkman yang tinggal dan tergabung dalam BRIN kini berstatus resmi sebagai aparat yang digaji dan mendapat remunerasi layaknya pegawai negara, sangat berbeda dengan status lama mereka sebagai honorer.

“Yang terpenting, kalau Eijkman dianggap sebagai lab biologi molekuler handal maka karakter ini tidak hilang. Malah hasil publikasi Eijkman BRIN dalam bidang biologi molekuler naik 2 kali lipat. Ini kita bicara data ya – apalagi yang mau didiskusikan?” ujar Handoko.

Di luar isu Eijkman, menurutnya yang lebih penting disorot dari keberadaan BRIN dalam sekitar 3,5 tahun adalah keberhasilan menghadirkan ekosistem riset yang dilengkapi sistem pendukungnya terkait peneliti unggul, infrastruktur dan anggarannya.

Handoko yang merupakan alumni program beasiswa sains era Presiden Habibie mengatakan hanya 30% pelajar Indonesia di luar negeri saat itu memilih kembali dan giat dalam bidang riset. Ekosistem riset Indonesia sebelumnya sulit menampung mereka karena ketiadaan fasilitas dan anggaran.

“Yang membanggakan itu bukan mengirim orang ke luar negeri, sejak jaman Bung Karno juga kita sudah begitu. Yang membanggakan itu kalau yang sudah berjaya di luar itu mau balik dan meneruskan passion-nya. Itu yang sekarang kita bisa bikin. Sekarang tiap tahun kita menerima 500 PhD holders, anak berkualitas S3. Karena di sini ada fasilitasnya, diaspora mau pulang. Karena kalau orang bagus nggak balik itu riset tidak kemana-mana. Karena riset itu nomor satu manusia unggul, karena ini pikiran kreatifnya orang pintar,” tambahnya.

Kembali ke Indonesia tidak dipaksa, kata Handoko, tetapi alasan tidak kembali karena tiadanya infrastruktur riset menurutnya sudah diatasi sejak BRIN berdiri. Salah satu alat di laboratorium BRIN misalnya, menurut Handoko berharga sampai Rp 150 milyar rupiah – meski tak dirinci jenis alat ini.

Ambisi BRIN adalah menciptakan jumlah cukup (critical mass) dari peneliti dan hasil penelitiannya sehingga bisa mendorong tumbuhnya inovasi teknologi dan industri di Indonesia. Untuk tujuan ini, dibuat perencanaan Manajemen Talent Nasional bidang sains yang diharapkan bisa menjadi acuan pencapaian target.

Kemunduran kredibilitas dan kebebasan akademik

Situasi politik nasional yang diwarnai berbagai kritik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi juga memengaruhi iklim riset dan dunia akademik. Salah satu puncaknya adalah pencekalan terhadap peneliti konservasi orangutan berkebangsaan Belanda Erik Meijaard yang sudah meneliti di Indonesia sejak 1992.

Meijaard menyanggah angka populasi orangutan yang dibeber Menteri KLHK Siti Nurbaya dalam sebuah publikasi opini media. Pencekalan ini diikuti kekhawatiran luar biasa kalangan ilmuwan dan konservasi yang mengkhawatirkan izin penelitian mereka jika berani memberi pandangan berbeda dari versi resmi pemerintah.

Kalangan kampus juga membuka pintu lebar terhadap berbagai kepentingan pemerintah dan pejabatnya, termasuk dalam pemberian gelar akademik yang kemudian dipersoalkan.
“Di masa Jokowi, dunia pendidikan tinggi melemah kualitasnya. Kasus UI dengan (gelar) doktoral (menteri) Bahlil hanya satu saja contoh kasus gugatan publik, atas praktek ugal-ugalan di dunia akademik,” kata Herlambang Wiratraman, pengajar yang juga Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).

Herlambang menyoroti praktik jurnal predator merajalela karena sistem riset dibuat sangat bergantung pada publikasi, sementara kontrol kualitas lemah. Juli lalu KIKA juga mengumumkan 27 kasus pelemahan independensi akademik dalam setahun yang turut disebabkan oleh “krisis integritas akibat komersialisasi kampus dan politisasi”.

Sampai hari terakhir menjelang pelantikan Presiden Prabowo Subianto, belum jelas strate




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *