Jakarta, Indonesia —
Masalah bonus demografi kembali menjadi perbincangan publik usai Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka membahas isu tersebut dalam sebuah video yang diunggah di akun YouTube pribadinya.
Bonus demografi merupakan kondisi di mana penduduk berusia produktif mendominasi struktur usia populasi di suatu negara.
Lewat video itu, Gibran menjelaskan pentingnya mengantisipasi dan memanfaatkan bonus demografi Indonesia yang puncaknya terjadi pada 2030-2045.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sebuah kondisi yang terjadi hanya satu kali dalam sejarah peradaban sebuah bangsa,” kata Gibran.
Gibran mengatakan bonus demografi Indonesia tak akan terulang. Menurutnya, akan ada sekitar 208 juta penduduk Indonesia berada di usia produktif.
Gibran menyampaikan puncak bonus demografi Indonesia harus bisa dimanfaatkan secara maksimal. Jangan sampai puncak bonus itu hanya jadi angka statistik semata tanpa bukti nyata.
“Kita, generasi muda, bukan sekadar bonus, kita adalah jawaban atas tantangan masa depan,” katanya.
Gibran dalam videonya tak menguliti persoalan besar yang dihadapi dan harus dikerjakan oleh pemerintah agar dapat siap menyambut bonus demografi.
Tantangan di depan mata
Deputy Director International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), Bona Tua P. P menyampaikan ada beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah RI dalam menghadapi bonus demografi tersebut.
Pertama, ialah tingginya tingkat pengangguran, khususnya di kalangan pemuda terdidik (usia 15-24). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Agustus 2024 mencapai 17,32 persen.
Bona mengatakan data itu menunjukkan bahwa jumlah anak muda yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya atau bisa juga kelompok usia itu menyumbang angka pengangguran tertinggi di Indonesia.
“Yang artinya ada persaingan ketat di pasar kerja bisa karena lapangan kerja minim atau tidak sinkron antara skill anak muda dengan kebutuhan pasar kerja,” kata Bona kepada Indonesia.com, Rabu (28/4).
Masalah selanjutnya ialah soal kesenjangan keterampilan. Yakni, ketidaksesuaian antara angkatan kerja yang berkembang dan kebutuhan industri menjadi masalah serius.
Bona menjelaskan Angka NEET (Not in Employment, Education, or Training) di Indonesia pada 2024 mencapai 20,31 persen dari total populasi muda.
Ia menyebut fenomena ini harus menjadi perhatian karena dapat mengindikasikan tantangan dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan pengembangan keterampilan bagi generasi muda.
“Pemerintah menghadapi tantangan untuk menyelaraskan kebijakan pendidikan dan industri. Hal ini menegaskan urgensi reformasi sistem pendidikan agar lebih relevan dengan kebutuhan pasar kerja,” ujarnya.
Lalu, kata Bona, tantangan lainnya ialah pertumbuhan sektor industri yang lambat atau deindustrialisasi dini serta upah rata-rata yang dinilai belum kompetitif turut memengaruhi ketersediaan pekerjaan bagi pemuda.
Terakhir, tantangan yang tak kalah signifikan ialah memastikan kualitas SDM, khususnya dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis.
“Kemampuan ini tidak hanya penting untuk meningkatkan daya saing individu, tetapi juga memengaruhi aspek yang lebih luas seperti komunikasi efektif dan kreativitas di berbagai sektor, termasuk sektor industri kreatif,” ujarnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya…
Dalam menghadapi bonus demografi itu, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini mengatakan pemerintah dapat mempersiapkannya dengan membuat kebijakan di berbagai sektor yang fokus pada employment creation.
Ia menyebut saat ini tingkat pengangguran terselubung dan menganggur penuh di Indonesia masih tinggi. Didik menekankan bahwa ini merupakan permasalahan yang berat dan harus segera diselesaikan.
“Kebijakan ketenagakerjaan yang adaptif: Kebijakan dari pemerintah harus mampu mendorong penciptaan lapangan kerja baru yang berkualitas,” kata Didik kepada Indonesia.com.
Ia juga mengatakan bahwa yang jadi persoalan serius di Indonesia saat ini ialah banyaknya penduduk usia produktif yang belum memiliki pendidikan memadai atau keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri masa depan.
Didik menyebut angka pengangguran tinggi khususnya di kalangan lulusan perguruan tinggi dan SMK terjadi karena mismatch antara lulusan dengan lowongan pekerjaan yang tersedia.
Ia pun menekankan bahwa penting bagi pemerintah untuk melakukan penguatan pendidikan vokasi di daerah-daerah serta membuka bidang baru seperti ekonomi kreatif dan digital, ekonomi lingkungan dan ekonomi sirkular.
“Untuk penguatan sektor industri kreatif dan digital, pemerintah pusat dan daerah perlu mendukung pertumbuhan startup, UMKM digital, dan industri berbasis teknologi. Memperluas akses internet dan literasi digital, terutama di daerah tertinggal,” kata Didik.
Senada dengan Didik, Bona mengatakan pemerintah harus melaksanakan sinkronisasi kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pasar.
Ia menyebut pemerintah dapat bekerja sama dengan industri untuk menyusun kurikulum pendidikan yang relevan.
Bona pun menegaskan bahwa tantangan bonus demografi tidaklah sebatas jumlah tenaga kerja belaka, tetapi juga kualitasnya.
“Kolaborasi ini dapat mencakup pelatihan guru dan penyediaan fasilitas pendidikan yang mendukung pembelajaran berbasis industri,” ucap Bona.
Selain itu, Bona juga mengatakan bahwa pemerintah harus mendorong kewirausahaan di kalangan pemuda.
Ia menyebut inisiatif kewirausahaan harus didorong karena dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Sektor potensial topang bonus demografi
Bona memprediksi akan ada sejumlah sektor industri yang akan menjadi penopang utama dalam menghadapi bonus demografi.
Pertama ialah UMKM atau sektor informal memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Bona menyebut UMKM merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.
“Maka bagaimana meningkatkan kelas (scaling up) UMKM menjadi sektor formal adalah kunci utama sebagai penopang utama sektor kerja dalam menghadapi bonus demografi,” ujarnya.
Kedua, sektor manufaktur dan pertanian yang bersifat padat karya. Bona menyebut sektor industri ini berpotensi besar menyerap tenaga kerja muda. Khususnya juka didukung modernisasi dan pelatihan keterampilan.
Data BPS 2023 mencatat sektor manufaktur menyumbang 19,2 persen terhadap PDB nasional dan mempekerjakan sekitar 15 juta orang.
[Gambas:Photo ]
Kemudian, sektor teknologi dan layanan digital. Industri ini diproyeksikan tumbuh pesat seiring transformasi digital.
Bona mengatakan sektor ini menawarkan peluang kerja bagi generasi muda, khususnya yang terampil di bidang STEM.
“Kementerian Komunikasi mencatat kebutuhan 600.000 talenta digital per tahun hingga 2030, menunjukkan potensi besar sektor ini dalam menyerap tenaga kerja,” ucap dia.
Lalu, industri kreatif dan pariwisata. Bona mengatakan sektor ini dapat menyerap tenaga kerja muda yang kreatif dan adaptif.
Data Kemenparekraf pada 2022 menyebutkan bahwa ekonomi kreatif menyumbang 7,44 persen terhadap PDB, atau sekitar Rp1.300 triliun.
Terakhir, sektor kesehatan dan perawatan. Bona menyebut sektor ini sangat potensial seiring meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan dampak dari pandemi.
“Kementerian Kesehatan melaporkan kebutuhan tambahan 1,5 juta tenaga kesehatan profesional hingga 2030 untuk memenuhi standar WHO, yang saat ini hanya 4,1 dokter per 10.000 penduduk (2022),” kata Bona.