Jakarta, Indonesia —
Tak begitu banyak orang bisa menekuni satu bidang dalam waktu sangat panjang selama hidupnya. Ujang Rassenoras adalah salah satu contoh orang yang mampu bertahan pada pilihan tunggal sebagai pelatih pencak silat.
Sudah 40 tahun pria asal Jakarta itu berbakti di olahraga yang sudah dicintainya sejak anak-anak. Ia mulai membina atlet muda pada 1985, kala itu usianya juga baru 19 tahun ketika berperan rangkap sebagai atlet dan pelatih.
“Awal melatih karena kebetulan saya sudah dipercaya menangani siswa Al Azhar di Kebayoran Baru. Saya kenal pencak silat juga di sana, diajak kakak saya kira-kira ketika kelas 3 SD,” kata Ujang kepada Indonesia.com di sela-sela Kejuaraan Pencak Silat Indonesia Piala Menpora 2025, Minggu (4/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Padahal saya tidak sekolah di Al Azhar, tapi boleh latihan bareng di sana dan kemudian jadi pelatih. Bisa dibilang, pencak silat adalah bidang yang menyelamatkan hidup saya,” ia menambahkan.
Ujang mengatakan, pencak silat adalah medium yang menghindarkannya dari kenakalan remaja. Karena sibuk berkiprah di dunia bela diri, ia jadi tak punya waktu dan selera untuk berkelahi hingga tawuran yang kerap dilakukan oleh teman-temannya ketika remaja.
Menurutnya, pencak silat adalah olahraga yang benar-benar mengasah fisik dan mental secara seimbang.
Baginya pencak silat akan pincang jika seorang atlet yang mampu menjaga kualitas tubuh dan pikiran.
“Di pencak silat, hal pertama yang diajarkan adalah menjaga pikiran dulu untuk berkonsentrasi. Atlet tidak langsung diajarkan menyerang karena ada meditasi di sela-sela latihan,” ucap Ujang.
Bersambung ke halaman berikutnya…
Ujang juga mengungkapkan bahwa dirinya juga selalu menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai dalam pencak silat.
“Selama puluhan tahun hal itu yang saya ajarkan ke anak-anak. Alhamdulillah meski tak semua murid terus jadi atlet, tapi semoga nilai-nilai dari pencak silat bisa mereka terapkan dalam kehidupan,” ia melanjutkan.
Alasan inilah yang membuatnya jatuh cinta pada pencak silat. Kebetulan pula, Ujang memegang teguh misi memelihara budaya bangsa.
“Sambil berlatih pencak silat, saya juga sempat coba taekwondo, karate dan sebagainya. Tapi saya kemudian kembali lagi ke pencak silat. Saya ingin menjaga pencak silat sebagai identitas kita sebagai orang Indonesia,” ujar Ujang.
Ujang sudah malang melintang di berbagai perguruan pencak silat dengan berfokus pada kategori pra pemula dan pemula di sekolah-sekolah.
Selain Al Azhar, kini pelatih 59 tahun itu sedang membina siswa di Jakarta Islamic Boarding School di Megamendung, Bogor.
Ujang memimpin 31 siswa SMP untuk mengikuti Kejuaraan Pencak Silat Indonesia di Padepokan Pencak TMII, Jakarta, pada 2-4 Mei.
[Gambas:Photo ]
Saat ditanya soal suka dan duka sebagai pelatih, Ujang mengaku rasa bahagia dominan menghiasi perjalanan hidupnya. Walaupun termasuk pelatih senior, Ujang mengaku enggan dipanggil ‘Pak’ atau ‘Coach’ ketika sedang melatih.
Sebab, prinsip egaliter adalah salah satu nilai yang dijunjung oleh pesilat. Ujang menyarankan anak didiknya cukup memanggil ‘Kak’ agar kedekatan antara pelatih dan murid tetap erat. Hal inilah yang membuat Ujang bahagia dengan pilihan hidupnya.
“Pelatih dan murid pada dasarnya harus saling menghormati. Semua anak di perguruan silat di tempat saya, memanggil pelatihnya dengan ‘Kak’. Tidak perlu pakai ‘Pak’, ‘Coach’ atau sebagainya,” kata Ujang.
Menurutnya, dengan sebutan ‘Kak’ itu pula, anak didiknya jadi lebih terbuka dengan kritik dan saran. Hal itu diperlukan untuk meningkatkan kemampuan atlet terutama dalam persiapan jelang turnamen.
“Kebetulan juga ada Kejuaraan Pencak Silat Indonesia ini. Anak-anak harus tahu apa yang kurang sekaligus potensi mereka. Kalau anaknya sudah terbuka untuk bercerita dan mendengar, dia bisa berkembang,” ucapnya.
[Gambas:Video ]