Senja, Manta, dan Komodo di Labuan Bajo
Daftar Isi
Jakarta, Indonesia —
Matahari hampir tenggelam di balik langit sore itu Labuan Bajo. Hari hampir gelap. Anak-anak masih asyik bermain air laut di bibir Pantai Gorontalo. Beberapa turis mendayung perahu kecil tak jauh dari sana. Saya pun berjalan di hamparan pasir kecoklatan, dan berhenti sejenak saat melihat goresan simbol hati. Mungkin, ada yang jatuh cinta saat itu.
Atas undangan Sudamala Resorts, saya menyusuri keindahan pelbagai tempat wisata di Labuan Bajo pada pekan pertama Mei. Di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sudamala memiliki dua resor mewah yang terletak di Komodo dan Pulau Seraya Kecil. Selain di NTT, lokasi resor Sudamala lainnya terletak di Bali dan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sudamala secara umum dalam bahasa Bali berarti ‘air suci’.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CEO Sudamala Resorts Ben Subrata mengatakan pihaknya ingin membangun resor yang tak terpisahkan dengan adat dan budaya masyarakat lokal. Dia juga memiliki komitmen untuk menyerap tenaga lokal bekerja di Sudamala Resorts.
“Kami tak mau menjadi box in the sky,” kata Ben. “Sudamala terhubung dengan budaya setempat, dan kami merasa terhormat melakukannya.”
Saya pun bertemu tiga kru asal Manggarai Barat yang menjadi pemandu perjalanan wisata hari itu. Mereka memandu pengunjung lain-selain saya-dalam satu kelompok kecil. Ada satu keluarga asal Jerman terdiri dari empat orang, dua perempuan Korea Selatan, satu pengunjung domestik, serta sepasang anak muda dari China. Perjalanan kami dimulai dari pelabuhan Labuan Bajo.
|
Pulau Padar
Kami tiba di Pulau Padar sekitar jam 09.15 WITA setelah menyeberang selama sejam dengan kapal yang dikelola Aqura Dive milik Sudamala Resorts.
Aqura Dive sendiri merupakan pusat pelatihan bersertifikat bagi individu yang ingin melakukan aktivitas selam. Programnya terdiri dari Advanced Open Water Diver hingga Discover Scuba Diving.
Pagi itu sudah ramai pengunjung berdatangan. Selain memiliki pantai yang indah, Pulau Padar juga memiliki bukit dengan ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Saya harus menaiki sekitar 800 anak tangga untuk mencapai puncak tertinggi. Sepanjang perjalanan, tentu dengan terengah-engah dan setop di beberapa titik, saya bertemu banyak pengunjung baik lokal maupun asing.
“Wis cedak (sudah dekat),” kata salah seorang pengunjung berdialeg Jawa saat melintasi tangga bukit.
“Saya atur nafas sesampainya di atas,” kata Direktur Komersial Sudamala Resorts I Wayan Suwastana, tergelak.
Menaiki anak tangga ke bukit itu memang harus ekstra hati-hati. Terkadang, saya bertemu tangga dengan batu-batu yang menghalangi langkah. Belum lagi hari itu cuaca panas. Namun, keindahan pemandangan dari puncak bukit, membayar lunas segalanya.
|
Pink Beach
Usai dari Pulau Padar, kami menuju Pink Beach yang ditempuh sekitar 20 menit. Hamparan pasir indah dan memendar cahaya berwarna merah muda di dalamnya.
Sebagian dari kami berenang dan sisanya snorkeling untuk melihat keindahan dalam laut, tak jauh dari bibir pantai. Dalam satu riset disebutkan, warna merah muda itu berasal dari organisme bernama foraminifera yang memengaruhi warna pasir.
Di sana, ada warung warga lokal tempat kami beristirahat sebentar dan makan siang. Penjaga warung juga menyajikan pelbagai suvenir macam mangkuk, piring hingga gelang hias yang dibentangkan di atas meja.
Siang itu, matahari kian terik dan cahayanya jatuh di laut. Kapal yang membawa kami masih berlabuh di bibir pantai, namun kru mulai bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.
|
Desa Komodo
Usai dari Pink Beach, kami berangkat menuju Desa Komodo selama 25 menit. Desa Komodo sebelumnya dikenal sebagai desa nelayan. Namun, sebagian beralih untuk membuat dan menjual suvenir sejak desa itu populer dengan ekosistem komodonya. Kambing dan ayam milik penduduk, berseliweran saat kami melintasi desa tersebut.
“Jangan melakukan gerakan mendadak, karena komodo sensitif,” kata seorang pemandu lokal. “Anda juga harus menjaga jarak tak terlalu dekat. Dan jangan pernah menyentuh komodo.”
|
Saya melihat sedikitnya tiga komodo di dua titik hari itu. Ada yang bergerak dari sarangnya dan ada pula yang diam menunggu mangsa. Para pemandu lokal membantu untuk mengambil foto. Menurut mereka, hari itu kami melihat kadal raksasa itu dengan bentuk terbesarnya.
Balai Nasional Taman Komodo (BNTK) mencatat sedikitnya terdapat 3 ribu lebih komodo yang hidup di lima pulau besar. Ini terdiri dari Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar, Pulau Gilimotang, dan Pulau Nusa Kode.
“Pada kesempatan tertentu, biawak komodo menjadi satwa kanibal,” demikian BNTK dalam keterangannya. “Ini membantu mengendalikan stabilitas sistem rantai makanan ekosistem.”
|
Manta Point
Kami menuju lokasi terakhir di Laut Flores hari itu. Semuanya antusias untuk melihat ikan Pari Manta.
Ada yang mempersiapkan pakaian khusus snorkeling, masker dan snorkel, serta baju pelampung. Kami pun memakai kaki katak untuk sebelum menikmati keindahan dalam laut. Saat terjun ke air, kami dibagi dua kelompok yang masing-masing dikawal oleh dua penyelam berpengalaman.
Ketika melakukan aktivitas snorkeling, saya melihat ragam jenis ikan hingga kura-kura berukuran besar.
Di titik itu, saya pun melihat pengunjung yang terjun ke air dari sejumlah kapal wisata lainnya. Kadang kami harus hati-hati karena ada kapal yang melintas dan menimbulkan riak. Saya sendiri menyaksikan dua ekor Pari Manta yang mendekat kapal hari itu.
“Amaaaazing,” kata salah seorang gadis pelancong asal Jerman. Senyumnya membuncah.
|
Indonesia sendiri melindungi Pari Manta dari kepunahan. Data resmi menyatakan, Pari Manta memiliki pertumbuhan yang sangat lambat dengan siklus reproduksi di rentang 2-5 tahun. Ikan jenis ini juga jadi buruan orang untuk dijual.
Sejak 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis aturan untuk melindungi penuh biota tersebut. Manta sendiri dikenal sebagai tukang lahap plankton berjumlah besar sebagai makanan utamanya. Di Indonesia, mereka tersebar di perairan Nusa Penida, Bali; Taman Nasional Pulau Komodo; serta Raja Ampat, Papua Barat.
“Pari Manta sangat rentan punah,” demikian Pemerintah RI. “Sulit pulih jika terus diburu sebagai ikan tangkapan dan diambil insangnya.”
|
Sore itu, kami kembali pelabuhan.
Mentari hampir tenggelam di balik awan. Pulau Padar, Pink Beach, Desa Komodo hingga Manta Point mungkin jadi kenangan yang tak rapuh oleh waktu di kepala. Pantai Gorontalo dan senja hari itu pun jadi saksi bisu keindahan lainnya. Mungkin, ini pula yang bikin saya jatuh hati pelan-pelan dengan tanah, air dan udara di Labuan Bajo.
|
(asa)