‘Mampir Dulu Bestie’ dan Teriakan Kocak Bahasa Indonesia di Madinah
Jakarta, Indonesia —
Sebagai negara dengan populasi muslim terbanyak dunia, Indonesia adalah pengirim jemaah haji terbesar ke Arab Saudi. Tahun ini, kuota yang diberikan sebanyak 221 ribu orang.
Itu pun pemerintah masih terus melobi agar kuota terus ditambah demi mengurangi antrean jemaah ke tanah suci. Banyaknya tamu Allah yang menunaikan rukun Islam kelima ini, membuat jemaah Indonesia menyumbang sedikitnya Rp20 triliun pendapatan bagi Arab Saudi.
Belum termasuk efek ekonomi imbas perputaran uang dari berbagai transaksi ekonomi, dari mulai penjualan oleh-oleh, makan-minum, turisme lokal, laba dari pertukaran valuta asing, provider telepon seluler dan aktivitas bisnis lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
WNI menyumbang 12,27% dari total jamaah haji global 2025 yang diperkirakan berjumlah 1,8 juta jiwa. Jumlah raksasa ini membuat jamaah WNI sebagai pasar gemuk untuk berbagai barang-jasa yang ditawarkan vendor lokal.
Kalau sekitar 20-10 tahun lalu cara utama komunikasi antar jamaah-pedagang masih dengan bahasa isyarat, satu-dua kata bahasa Inggris dan kata-kata “halal” dan “haram” (untuk menandai apakah transaksi disepakati atau tidak), kini Bahasa Indonesia sudah jadi ‘lingua franca’ pasar oleh-oleh lokal.
“Sini sini mampir dulu bestie, murah-murah aja…” rayu seorang pegawai toko kurma waktu kami lewat. Bestie, kak, mas, bosku, adalah sapaan populer pada jamaah WNI di sini.
Beberapa pegawai bahkan bisa switch on otomatis ke bahasa daerah begitu mendengar jamaah saling berbicara.
“Ayooo kadieu heula, murah murah semua..” terdengar beberapa kali dari toko-toko gamis yang berjejer sepanjang bangunan hotel dekat Masjid Nabawi. Pedagang juga bikin strategi jualan dadakan dengan mendorong gerobak berisi dagangan ke tempat-tempat ramai seperti dekat gerbang masjid.
Begitu mendengar konsumen berbicara dengan sesamanya dalam bahasa Jawa, penjaga toko langsung switch ke “Iki gamis e apik lho Mas..”. Kami yang mendengar cuma bisa nyengir sambil melongo.
Tak cuma bahasa, banyak toko juga menggunakan rupiah sebagai mata uang transaksi, selain riyal tentunya.
Banyak toko menyebut harga mereka sama dengan standar Tanahabang (mungkin belum banyak yang familiar dengan Thamrin City) untuk menegaskan barangnya tidak mahal. Walau sebenarnya enggak juga. Harga gamis perempuan yang ditawarkan hampir Rp1 juta bikin mundur teratur. Gamis-gamis murahnya harganya 2-3 kali harga marketplace oren.
Belajar bahasa Indonesia
Berapa lama para penjual belajar bahasa ini? Saat ditanyakan pada seorang manajer toko, katanya tak ada cara khusus meski butuh beberapa tahun menyerap perbendaharaan kata konsumen termasuk ikut tren bahasa Indonesia terkini.
Kata-kata seperti “Ini keren bosku…” dan “Mampir dulu nggak beli nggak papa..” sebagian besar didapat dari percakapan dengan konsumen langsung.
Pemilik toko minta agar pegawai menyesuaikan dengan karakteristik komunikasi pembeli. Seorang pegawai bisa berkomunikasi dasar dengan bahasa Turki atau Urdu, di luar Bahasa Indonesia, karena termasuk banyak konsumen penuturnya.
Banyak penjaga toko merupakan imigran dari Bangladesh, India, negara-negara muslim di Afrika, kadang satu-dua ketemu juga penjaga toko asli Indonesia dan bahkan koko-koko keturunan China.
Secara tradisional, musim haji adalah salah satu puncak transaksi ritel di Arab Saudi setelah Ramadan dan musim belanja libur setelah Natal (black Friday). Kehadiran jamaah haji mendorong transaksi ritel nasional melonjak 80% dari angka belanja ritel biasa.
Tidak heran kalau pedagang menerapkan beragam cara untuk mengeruk keuntungan dari ceruk gemuk ini.
Apakah strategi berbahasa Indonesia ini berhasil? Ya pasti lah.
Salah satu faktornya karena pencari oleh-oleh dari Indonesia adalah kelompok konsumen yang cukup nekat. Biarpun tahu produk sejenis seperti gamis dan kurta (tunik panjang untuk laki-laki) di Indonesia juga banyak dijual bahkan dengan harga murah, membeli di Arab Saudi tetap jadi prioritas. Kan beda, yang satu beli di Tanahabang satu di Madinah – kira-kira begitu alasannya.
Layanan berbahasa Indonesia atau transaksi dengan rupiah (atau dua-duanya) sangat menolong pelanggan dan penjual yang tidak paham bahasa Arab atau bahasa Inggris. “Seperti belanja di ITC ceunah,” kata seorang pelanggan memberi testimoni waktu kami tanya di mana beli gamis dengan harga paling miring.
Canggih servisnya memang.
(sur/sur)