23 Tahun Tragedi Semanggi I dan Keadilan yang Gelap


Jakarta, Indonesia —

Jumat, 13 November 1998, jalanan ibu kota disesaki puluhan ribu mahasiswa dan elemen masyarakat sipil lainnya yang menolak keras agenda dan pelaksanaan Sidang Istimewa (SI) MPR yang menunjuk BJ Habibie sebagai presiden menggantikan penguasa Orde Baru, Jenderal Besar (Purn) Soeharto.

Sebanyak 17 warga sipil tewas dan 109 lainnya terluka dalam insiden yang dikenal dengan Tragedi Semanggi I tersebut.

Demonstrasi di masa transisi dari rezim orde baru menuju reformasi itu berlangsung pada 11-13 November 1998. Penunjukan BJ Habibie sebagai presiden diprotes karena ia disebut merupakan kepanjangan tangan dari orde baru yang dipimpin Soeharto selama lebih dari 32 tahun.

Pada hari pertama demonstrasi, mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya yang bergerak dari Jalan Salemba, Jakarta PUsat, terlibat bentrok dengan Pam Swakarsa– kelompok sipil bersenjata yang dibentuk TNI– di sekitar kompleks Tugu Proklamasi.

Kemudian pada 12 November, mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju ke Gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil sampai kompleks wakil rakyat itu karena dikawal dengan sangat ketat oleh aparat keamanan.

Berjatuhan Korban Tewas

Bentrokan terjadi di daerah Slipi dan Sudirman. Puluhan mahasiswa dilarikan ke rumah sakit dan banyak lainnya dievakuasi ke Universitas Atma Jaya.

Seorang pelajar bernama Lukman Firdaus mengalami luka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.

Pada 13 November, aparat gabungan TNI-Polri berupaya membubarkan massa aksi yang bertahan di Semanggi dan sekitarnya. Kendaraan lapis baja dikerahkan aparat. Desing peluru tajam membabi buta di udara ketika mahasiswa sedang duduk di jalan.

Salah satu korban tewas di tempat adalah mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI), Teddy Wardhani. Atas kekacauan itu, mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atmajaya yang menjadi tempat untuk berlindung dan merawat korban luka.

Terjadi peristiwa tragis di kampus tersebut saat peluru tajam bersarang di dada Bernardus Realino Norma Irmawan alias Wawan– mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya. Wawan ditembak saat berupaya menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus.

Aksi Mahasiswa Lanjutan Berujung Tragedi Semanggi II

Pada 24 September 1999, aksi unjuk rasa berujung bentrok dengan aparat kembali terulang. Peristiwa ini dikenang sebagai Tragedi Semanggi II.

Ratusan mahasiswa luka-luka dan satu orang mahasiswa tewas akibat luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.

Hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, dengan 50 orang perwira TNI/Polri diduga terlibat dalam kasus penembakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Sejumlah polisi dan tentara diadili akibat insiden penembakan itu, tetapi banyak pihak menyebut pengadilan telah gagal memenuhi keadilan bagi para korban dan gagal mengungkap dalang di balik penembakan.




Infografis Kelanjutan Kasus Pelanggaran HAM Berat

Pencarian Keadilan Keluarga Korban yang Masih Gelap

Sudah 23 tahun berjalan, upaya penuntasan kasus guna memberikan keadilan bagi para korban dan keluarga korban belum menemui titik terang.

Dalam forum Rapat Kerja DPR pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin justru mengatakan peristiwa Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat, sehingga kasus tidak perlu dilanjutkan. Hal itu membuat sejumlah pihak kecewa besar.

Keluarga korban, termasuk Ibu Wawan yaitu Maria Katarina Sumarsih lantas mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

PTUN memutuskan bahwa Burhanuddin telah melakukan perbuatan melawan hukum melalui pernyataannya tersebut. Namun, Kejaksaan Agung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN Jakarta dan menang. Pun begitu di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) memenangkan Burhanuddin.

(ryn/kid)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *