KPK soal Isu Hadi Poernomo Jadi Penasihat Prabowo: Wajib Lapor LHKPN
Jakarta, Indonesia —
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo wajib melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) setelah diangkat menjadi Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara.
“Jabatan Penasihat Khusus Presiden merupakan salah satu pejabat yang wajib untuk melapor LHKPN sebagai salah satu instrumen pencegahan korupsi,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Kantornya, Jakarta, Rabu (14/5) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi menjelaskan penerimaan negara merupakan sektor yang sangat krusial lantaran potensi korupsi dalam pengelolaan keuangan sangat besar. Untuk itu, kata Budi, KPK telah dan akan terus melakukan beberapa kajian guna mencegah kebocoran.
Kajian yang sudah dilakukan seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor Mineral dan Batu Bara (Minerba) hingga PNBP dari sektor sawit.
“Kemudian terkait dengan konteks sebagai Penasihat Khusus dalam sektor penerimaan negara, kaitannya dengan pemberantasan korupsi tentu hal itu cukup krusial mengingat potensi korupsi dalam pengelolaan keuangan negara tidak hanya pada aspek pembiayaan atau pembelanjaan, tapi juga aspek-aspek penerimaan negara,” tutur Budi.
“Untuk itu KPK sebelumnya juga telah lakukan beberapa kajian,” imbuhnya.
Kabar penunjukan Hadi Poernomo sebagai penasihat khusus Presiden Prabowo bidang penerimaan negara, mencuat setelah tersebarnya salinan Keputusan Presiden (Keppres) No 45/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara.
“Mengangkat Dr. Drs. Hadi Poernomo, S.H., Ak., CA., M.B.A., sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Badan Penerimaan Negara dan kepada yang bersangkutan diberikan hak keuangan dan fasilitas lainnya setinggi-tingginya setingkat dengan jabatan menteri,” bunyi Keppres No. 45/2025.
Indonesia.com mendapat salinan Keppres tersebut dan coba mengonfirmasi pihak Istana terkait ini, tapi belum mendapat respons.
Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indrawijaya, Kepala PCO Hasan Nasbi, dan Wamenkomdigi Angga Raka Prabowo belum merespons saat ditanya soal penunjukan tersebut.
Terpisah, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tak menjawab tegas ketika ditanyai isu itu. Ia hanya meminta publik menunggu.
“Tunggu saja,” kata Airlangga di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (14/5).
Hadi Poernomo pernah dijadikan tersangka oleh KPK atas dugaan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004. Proses hukum tersebut diusut KPK pada tahun 2014.
Hadi diduga mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan mengenai keberatan SKPN PPh BCA. Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait non-performing loan (NPL) atau kredit bermasalah senilai Rp 5,7 triliun kepada Direktur PPh Ditjen Pajak.
Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari Direktur PPh pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.
Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA, 18 Juli 2004, Hadi memerintahkan agar Direktur PPh mengubah kesimpulan, yaitu dari semula menyatakan menolak diganti menjadi menerima semua keberatan.
Atas perbuatan Hadi tersebut, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp375 miliar. Uang tersebut merupakan pajak yang seharusnya diterima negara dari BCA.
Hadi tak diproses hukum setelah hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan permohonan Praperadilannya.
Menurut pengadilan, tindakan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Hadi adalah tidak sah menurut hukum.
Hanya saja, Mahkamah Agung (MA) menilai sidang Praperadilan tersebut telah melampaui batas wewenang dan dapat dikualifikasi sebagai upaya mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan KPK.
Menurut MA, pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka seharusnya hanya menilai aspek formal, yaitu apakah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Tidak boleh memasuki materi perkara.
Pasca-putusan MA tersebut, KPK sempat menyatakan akan menetapkan kembali Hadi sebagai tersangka. Namun, hingga beberapa kali berganti kepemimpinan, KPK tak membuka lagi kasus itu.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo hanya menyampaikan pendapat normatif merespons penunjukan mantan tersangka sebagai Penasihat Khusus Presiden.
“Tentunya penunjukan yang bersangkutan dalam jabatan tersebut telah melalui proses dan seleksi, dan tentunya disesuaikan dengan kebutuhan sesuai jabatannya sebagai Penasihat Khusus berkaitan dengan penerimaan negara,” kata Budi.
(fra/ryn/fra)