Dilema Skizofrenia ‘Dipasung’ Stigma, Sering Dikira Kerasukan


Jakarta, Indonesia

Neta (38) masih menyimpan lekat malam itu dalam ingatannya. Malam di tahun 2017 yang mengubah segalanya.

Ia duduk sendirian di teras rumah, diterangi cahaya redup lampu gantung. Sementara dunia di sekitarnya terasa perlahan menjauh.

Di dalam kepalanya, suara-suara asing berdengung tanpa henti. Seolah ada yang berbisik di telinganya, namun tak seorang pun bisa mendengarnya.



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Dengar suara-suara aneh, yang nyuruh mati, nyuruh ngebunuh. Aku suka teriak-teriak juga,” ujar Neta saat bercerita pada Indonesia.com.

Ia mencoba bercerita, berharap ada yang memahami, atau setidaknya mendengarkan. Tapi yang ia temukan justru tatapan curiga dan ketakutan.

“Kamu ini diguna-guna!” ucap seorang kerabat dengan nada panik.

Yang lain buru-buru menimpali, “Dia kerasukan. Bawa ke orang pintar saja!”

Tak ada yang berpikir untuk membawanya ke psikiater. Tak ada yang percaya bahwa yang ia derita adalah penyakit medis bernama skizofrenia, bukan kutukan atau santet kiriman orang.

Neta menjadi ‘orang aneh’ di lingkungan rumahnya. Ia dijauhi, dimusuhi, kerap dicaci, bahkan tidak jadi menikah karena keluarga calon suaminya takut ia ‘bersekutu dengan iblis’.

Angka yang tinggi, pemahaman yang tertinggal

Cerita Neta bukan satu-satunya.

Penderita skizofrenia, gangguan jiwa berat yang masih diselimuti stigma, menyentuh lebih dari 300 ribu jiwa di Indonesia per April 2025.

ilustrasi Skizofrenia , ilustrasi cemas , ilustrasi ganguan jiwaIlustrasi. Jumlah penderita skizofrenia di Indonesia per April 2025 menyentuh lebih dari 300 ribu jiwa. (Istockphoto/ CasarsaGuru)

Data Kementerian Kesehatan RI yang dihimpun dari SIMKESWA (Sistem Informasi Kesehatan Jiwa dan NAPZA) menunjukkan bahwa dari Januari 2024 hingga April 2025, tercatat 311.457 kasus skizofrenia.

Sebanyak 196.405 di antaranya adalah laki-laki dan 115.052 perempuan. Tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak adalah Jawa Timur (48.901), Jawa Barat (45.070), dan Jawa Tengah (41.327).

Sayangnya, di tengah angka yang cukup tinggi, masih banyak penderita yang tidak pernah mendapatkan diagnosis medis.

Mereka tidak pernah ke psikiater, tidak pernah mengonsumsi obat antipsikotik. Sebaliknya, mereka justru dibawa ke dukun, didoakan berulang kali, diasingkan dari masyarakat, atau bahkan dipasung.

Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bagus menyebut, penanganan skizofrenia di Indonesia saat ini masih jauh dari memadai.

Stigma jadi salah satu perkara utamanya. Stigma ‘orang gila’ dan pemahaman masyarakat yang rendah membuat banyak kasus skizofrenia tidak terdeteksi dengan baik.

Selain itu, akses terhadap layanan kesehatan jiwa pun dinilai Bagus masih sangat terbatas, utamanya di daerah.

“Kebanyakan pasien dengan gejala skizofrenia justru dibawa ke dukun. Padahal, kalau ditangani medis sejak awal, peluang pulihnya jauh lebih besar,” ujar Bagus.

Ia juga menyesalkan masih maraknya praktik pemasungan. Praktik ini bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tapi justru memperparah kondisi pasien.

“Keluarga harus tahu, pasien skizofrenia bukan aib. Mereka bukan kutukan, bukan beban, tapi individu yang butuh dirangkul dan dijaga. Pendampingan dan kasih sayang justru menjadi bagian dari terapi yang tak kalah penting dari obat,” kata dia.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya..





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *