Jalan Terjal Aktivis Perempuan Setop Pernikahan Anak di India



Jakarta, Indonesia —

Laxmi Sargara, perempuan asal Rajasthan, India utara, mengingat kembali pengalaman mengerikan dalam hidupnya.

Saat usianya baru setahun, ia dinikahkan dengan anak laki-laki berusia 3 tahun. Perkawinan ini pun baru diketahuinya bertahun-tahun kemudian kala sang mertua datang memberitahu bahwa dia bakal tinggal bersama mereka.

Rajasthan yang dikenal dengan sejarah dan arsitektur yang megah tercatat pada 2017 menjadi rumah bagi 15 juta perempuan dan anak perempuan yang mengalami perkawinan anak. Di sana, tidak jarang anak usia setahun dinikahkan dalam upacara tradisional seperti mausar.

Dalam upacara ini, pernikahan dilakukan di hari ke-12 berkabung atas kematian seorang anggota keluarga. Anak kemudian terus tinggal dengan orang tuanya sampai gauna atau ritual di mana setelah pubertas, anak akan dikirim ke rumah mertua.

Ketakutan akan tinggal dengan mertua dan perkawinan yang tak pernah diinginkan, Sargara pamit untuk mengunjungi kakak laki-lakinya di Jodhpur, satu jam perjalanan dari desa mereka. Dengan bantuan sang kakak, Sargara berjumpa dengan Kriti Bharti, seorang pekerja sosial yang membantu korban perkawinan anak.

“Ketika Laxmi mendekati saya, dia menginginkan sesuatu yang permanen, dan dia tidak menginginkan perceraian untuk pernikahan yang tidak pernah ia setujui,” kenang aktivis perempuan dan anak, Bharti seperti dikutip dari .

Setelah meneliti ratusan putusan dan dokumen hukum, Bharti sadar ada ketentuan pembatalan yang bisa digunakan. Bharti dan tim dari Saarthi Trust menggunakan undang-undang yang belum pernah digunakan sebelumnya dan tidak diketahui pengadilan itu sendiri yakni Prohibition of Child Marriage Act (PCMA).

PCMA merupakan pengganti Child Marriage Restraint Act (CMRA) yang dicopot karena dianggap gagal memberikan jalan keluar bagi anak korban perkawinan anak. Pada 2007 PCMA disahkan dan mengakui bahwa perkawinan anak adalah sah tetapi dapat dibatalkan. Dengan PCMA, korban perkawinan anak bisa punya waktu sampai 2 tahun setelah mencapai usia dewasa untuk membatalkan pernikahan jika mereka ingin atau mengetahuinya.

“Hari ketikan kami mengajukan kasus, itu jauh lebih mudah, tetapi saat itu kami menetapkan preseden (hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat digunakan sebagai contoh),” katanya.

Hadapi tradisi

Sargara hanya satu dari berjuta-juta korban perkawinan anak di India. Data UNICEF pada 2017 menyebut sebanyak 223 juta anak perempuan dan perempuan yang tinggal di India pernah dinikahkan sebelum usia 18 tahun. Hanya sebagian kecil dari anak-anak yang menikah di bawah umur adalah anak laki-laki.

Sedangkan organisasi Childline India menerima pengaduan terkait perkawinan anak perempuan 9 kali lebih banyak daripada anak laki-laki antara April 2019 dan Maret 2020. Belum ada data pasti berapa banyak pernikahan yang dibatalkan, tetapi Bharti menyebut hingga kini total ada 43 pernikahan yang dibatalkan termasuk pernikahan Sargara bermodal PCMA.

Ini seolah terlihat mudah sampai ia berjumpa dengan Santa Devi. Perjuangan untuk bebas dari pernikahan harus ditempuh dengan biaya begitu mahal gara-gara tradisi.

Devi dibesarkan di Rohicha Kallan, sebuah desa dengan perjalanan dua jam dari Jodhpur. Ia dinikahkan di usia 11 bulan dengan anak laki-laki berusia 10 tahun lewat upacara mausar. Pada 2015, di usia 15 tahun, Devi baru mengetahui bahwa dirinya sudah dinikahkan dengan pria 25 tahun. Dia menyebut, pria ini mengikutinya ke manapun dia pergi dan muncul di sekolahnya selama berminggu-minggu.

Dalam keadaan hancur dan putus asa, Devi mencari jalan keluar. Dalam perjalanannya, Devi berjumpa dengan Bharti yang dia sebut ‘didi’ atau kakak perempuan.

“Saat itu saya tidak bisa berbicara, saya bahwa tidak tahu bahasa Hindi, saya bahwa tidak pernah meninggalkan desa saya. Tetapi saat keluarga mempelai pria menekan saya untuk melakukan gauna, saya tahu saya harus melakukan sesuatu. Kami [Devi dan temannya] mencari solusi ke mana-mana dan akhirnya menemukan artikel berita Kriti didi yang membatalkan perkawinan anak,” jelas Devi.

Bharti setuju untuk membantu, tetapi mereka harus bergerak cepat sebelum ulang tahunnya yang ke 20, batas usia untuk permohonan pembatalan. Upaya hukum ini ternyata harus tersandung tradisi.

Sang ayah mendukung Devi setelah diskusi dengan Bharti. Namun saat desa mendengar langkah Devi, pertemuan jati panchayat atau dewan kasta mengenakan denda sebesar 16 lakh rupee (sekitar US$ 21.521 atau sekitar Rp 307 juta) atas pembatalan pernikahan. Denda, kemudian risiko pengusiran dari desa membuat sang ayah membatalkan dukungan.

“Robek kertas [pembatalan], jika tidak, kamu bukan putriku,” kenang Devi.

Devi menyadari jati panchayat memberikan banyak masalah buat Bharti. Bahkan mereka mengancam akan membunuh Devi. Ada jalur hukum yang resmi, tetapi jati panchayat mengambil keputusan sesuai tradisi. Mereka layaknya penegak hukum meski untuk urusan perkawinan anak, mereka bertindak bertentangan dengan hukum negara.

“Hukum belum jadi jawaban buat masalah perkawinan anak. [Perkawinan anak] terus berlanjut meskipun hukum sudah ada sejak lama,” ujar Bharti Ali, pendiri HAQ Center for Child Rights.

Dalam riset HAQ pada 2021, dari sebanyak 20 kasus pernikahan anak yang diputus, 7 kasus di antaranya diputus oleh jati panchayat. Pun sebanyak 7 kasus, hanya 1 kasus mendapat kesempatan pembatalan, lalu beberapa dicapai kesepakatan pada keluarga yang terlibat.

Ali menyebut dari studi bisa disimpulkan kalau keputusan memang diambil oleh jati panchayat.

“Jika kami ingin ketentuan hukum ini [PCMA] digunakan, kami harus cari tahu mekanisme lokal apa dan bagaimana kami menghubungkannya ke pengadilan,” imbuhnya.


Perempuan harus ‘Bersuara’


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *