‘Pelan-pelan Alya! Lambat Tak Berarti Bodoh’



Jakarta, Indonesia —

Dunia rasanya selalu menjunjung tinggi apapun yang serba cepat. Cepat itu baik. Cepat itu menyenangkan. Internet cepat, cepat sampai tujuan dan cepat mengerjakan tugas tanggung jawab pekerjaan. Yah, pokoknya cepat. Hanya saja, setelah semua yang serba cepat, Alya Faradisa Cholid belajar menginjak rem dan melangkah perlahan.

Mahasiswa perfilman sekaligus pekerja digital lepas ini ‘kenyang’ dengan pengalaman serba ‘cepat’ di masa lalu. Serba cepat yang mengundang decak kagum, rasa bangga orang tua dan label ‘spesial’.

“Aku merasa selalu cepat. Aku melakukan banyak hal sebelum ‘waktunya’ dan aku dipuji karena itu. Kecepatanku menjadikanku spesial. Aku berusaha untukunlearngagasan itu,” ujar Alya saat berbincang dengan Indonesia.com melalui pesan singkat, Rabu (17/11).

Ia pun sempat menuangkan pengalaman serba cepatnya dalam cuitan ringkas via akun Twitter pribadinya, @alyacholid.

Saya bisa calistung usia 2,5 tahun. Dimasukkin ke SD usia 5 tahun. Tulisan pertama saya dimuat di koran usia 10 tahun. Nulis novel usia 11 tahun. Novel saya diterbitkan usia 12 tahun.

Alya menduga kemampuan calistung di usia 2,5 tahun diperoleh karena orangtuanya memasukkannya ke playgroup di usia 18 bulan. Saat itu ia hanya menemani sepupu yang berusia 3 tahun. Selepas playgroup, ia masuk TK di usia 3 tahun sehingga saat lulus TK, ia terhitung terlalu kecil untuk masuk SD.

Karena tak kuasa menghadapi dirinya yang merengek minta masuk SD, Alya mengikuti tes tertulis dan tes wawancara masuk SD. Ia lolos.

“Sejujurnya, orang tuaku nggak ambisius dan nggak punya ekspektasi tinggi saat itu. Masuk SD lebih cepat adalah keinginanku, keinginan anak kecil yang enggak tahu apa-apa,” katanya disusul tawa.

Tak sebatas soal kecepatan masuk sekolah, Alya juga menorehkan keberhasilan dalam bidang menulis. Dulu tak ada Play Station atau Nintendo. Hiburannya cuma buku. Dari sini, tumbuh gagasan untuk menulis. Tulisan tentang kebun binatang Ragunan mampu menembus koran BERANI (Berita Anak Indonesia) dan terpampang di mading SD.

Melihat capaian ini, sang ayah berinisiatif membelikan komputer di usia 11 tahun. Bukan komputer untuknya saja, tapi buat seluruh penghuni rumah. Hanya saja komputer ini mengantarkannya jadi penulis novel.

Novel berjudul London I’m Coming melukiskan impian Alya untuk bepergian ke luar negeri, menjadi orang terkenal dan memiliki banyak teman. Perlu proses penyuntingan hingga terbit memerlukan waktu hingga setahun sehingga novel baru bisa terbit saat ia kelas 7 SMP.

“Novel itu best seller. Royaltinya lumayan, sampai aku bisa beli HP dan laptop sendiri,” imbuhnya.

Simak kelanjutan cerita Alya di halaman berikut…

Cepat Tak Berarti Tepat


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *