Review Film: Final Destination – Bloodlines

Jakarta, Indonesia —
Final Destination: Bloodlines masih menjadi film menyenangkan untuk disaksikan dari waralaba Final Destination yang telah berlangsung sejak 2000 tersebut.
Hadir kembali setelah 14 tahun dari film terakhirnya, Bloodlines sebenarnya sudah bisa menutup rapat cerita yang dibangun lebih dari dua dekade tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu terlihat dari sorotan utama dalam film yang ditulis Guy Busick dan Lori Evans Taylor, perubahan target Death dari kumpulan penyintas kematian yang tidak saling berhubungan, kini fokus pada satu keluarga. Keluarga yang seharusnya tidak pernah ada di dunia ini.
Plot tersebut yang amat jelas membuat film keenam Final Destination ini terlihat seperti drama keluarga bila dibandingkan sebelumnya.
Namun, Bloodlines membangun hubungan karakternya, termasuk dengan pendahulunya cukup rapi, dan menyertai narasi untuk setiap kematian yang sebenarnya tidak akan pernah bisa terelakkan.
Hal itu sudah dimulai dari opening yang bahkan bisa dibilang menjadi babak terbaik dari keseluruhan film ini.
Adegan pembuka Bloodlines menunjukkan kisah di masa lalu dan setelah bertahun-tahun bagaimana Death ternyata masih dan tetap mengikuti semua orang yang seharusnya mati.
Kematian-kematian yang tragis dan cukup memainkan emosi berada di opening scene. Sehingga, Bloodlines memiliki pembuka yang amat baik, meski cukup panjang, dibandingkan keseluruhan waralaba ini.
Satu hal utama dan patut diapresiasi dari Bloodlines adalah memberikan ruang kepada Tony Todd untuk berpisah dari karakternya sebagai William Bludworth, penggemar, dan dunia ini dengan sangat emosional, ditambah latar belakang cerita karakternya yang terungkap.
Selain itu, Final Destination: Bloodlines juga menyenangkan karena Zack Lipovsky dan Adam Stein selaku sutradara tidak langsung mengeksekusi kematian yang ditulis dalam naskah.
Mereka meraba-raba dan mengulur-ulur waktu dalam membangun ketegangan hingga memberikan akhir palsu terhadap hal-hal yang mungkin sudah diyakini penonton.
Ketika mereka akhirnya menarik tali pengaman dan meluncurkan kematian mengerikan, itu sering kali akhirnya terasa melegakan.
|
Final Destination: Bloodlines juga menyeimbangkan adegan-adegan mengerikan, lucu, dan emosional saat semua penceritaannya berjalan cepat.
Keasbunan Erik Campbell (Richard Harmond) dan kepolosan Bobby Campbell (Owen Patrick Joyner) jelas menjadi pemicu komedi, di tengah rentetan kematian mengerikan film ini dan membuat Bloodlines lebih fresh dan berwarna daripada sebelumnya.
Erik bahkan bisa dibilang mencuri spotlight dari Stefani Reyes (Kaitlyn Santa Juana), tokoh utama sekaligus protagonis film ini.
Situasi tersebut yang menghadirkan satu catatan utama atas film ini. Pemeran utama Bloodlines menjadi karakter paling hambar di seluruh film, dan dia menghadapi persaingan ketat karena hanya tiga orang menonjol dalam film ini.
Selain Erik dan Bobby yang mencuri perhatian, Iris (Gabrielle Rose dan Brec Bassinger) juga jauh lebih berkesan dibandingkan Stefani.
|
Tak hanya itu, babak ketiga yang seharusnya jadi klimaks malah menjadi bagian terlemah dan cukup mengecewakan dari film ini. Eksekusi kematiannya tidak jauh lebih baik dari opening scene, padahal itu seharusnya menjadi bagian terbaik.
Satu catatan yang terasa sangat personal adalah kematian dalam Bloodlines tidak lagi terasa semenyeramkan dulu. Entah karena kebanyakan CGI atau beberapa kematian terasa kurang relatable, sehingga tidak menghadirkan keparnoan baru yang parah seperti sebelumnya.
Kematian-kematian dan kengerian yang dibangun dalam babak pertama film ini lebih sadis, mengerikan dibandingkan kematian setelahnya yang kurang mengesankan secara visual.
Pada akhirnya, Final Destination: Bloodlines masih menjadi film yang menyenangkan, memacu adrenalin dengan rentetan kematian brutal disertai komedi dengan akhir yang sebenarnya sudah bisa diprediksi.
Singkatnya, semua yang ditampilkan Final Destination: Bloodlines persis dengan semua yang sudah muncul di pikiran sejak awal sebelum menonton.
(chri/chri)