LPMP Buka Opsi 3 Siswa SD di Tarakan Jalani Ritual di Komunitas
Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Kalimantan Utara, Jarwoko menyatakan pemerintah memiliki opsi agar tiga anak penganut Saksi-Saksi Yehuwa di SD Negeri 051 Tarakan yang tinggal kelas selama tiga tahun tetap mengikuti pelajaran agama yang disediakan.
Tiga bersaudara ini tinggal kelas karena diduga mendapatkan perlakukan diskriminatif lantaran menganut kepercayaan yang berbeda dengan guru di sekolah.
Untuk mengatasi hal ini, Jarwoko menyebut terdapat opsi agar anak tetap mengikuti pendidikan di sekolah dan praktik ritual di komunitas Saksi-Saksi Yehuwa. Di sekolah, saat ini pemerintah hanya menyediakan enam mata pelajaran agama yang telah diakui secara resmi.
“Karena dia itu Kristen ya kan masuk Kristen protestan, jadi diafiliasi itu dia berhak mendapatkan pelajaran agama sesuai yang dianut kan,” kata Jarwoko saat dihubungi Indonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (23/11).
Meski demikian, kata Jarwoko, gagasan ini baru menjadi opsi dalam rapat yang digelar antara Dinas Pendidikan Kota Tarakan, Kepala Sekolah dan guru terkait. Dalam rapat yang dihadiri Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan LPMP Kalimantan Utara, opsi ini belum menjadi keputusan.
Hingga saat ini Kemendikbud Ristek belum memiliki aturan yang membolehkan penilaian praktik ritual keagamaan siswa dengan keyakinan yang berbeda dilakukan di komunitas mereka.
“Belum ada kan kalau dasar hukum itu belum ada secara jelas. Kalau secara penafsiran nanti orang takut juga belum tentu ini bisa,” kata Jarwoko.
Jarwoko mengaku telah membicarakan ini dengan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Dirjen, kata jarwoko, menyatakan bahwa jika pelajaran agama yang tersedia tidak sesuai dengan keyakinan siswa, maka diserahkan kepada komunitas mereka.
“Tapi kan harus ada dasar hukum, nggak bisa disampaikan dengan itu saja, nggak mau orang Dinas dan sekolahan. Nanti disalahkan lagi dasarnya apa?” ujarnya.
Sebelumnya, Komisioner KPAI, Retno Listyarti mengatakan mereka menerima aduan dari orang tua tiga bersaudara yang bersekolah di salah satu SD Negeri di Tarakan, Kaltara. Ketiganya tidak naik kelas selama tiga tahun berturut-turut.
Tinggal kelas selama tiga tahun berturut-turut, membuat kondisi psikologis ketiga anak tersebut sangat terpukul. Mereka mulai kehilangan semangat belajar dan malu dengan teman-temannya.
Retno mengatakan persoalan yang menimpa ketiga anak itu bukan karena mereka tidak pandai secara akademik, melainkan perlakuan diskriminatif dari pihak sekolah atas keyakinan yang mereka anut.
“Ketiga anak sudah menyatakan dalam zoom meeting dengan KPAI dan Itjen Kemendikbud Ristek, bahwa mereka tidak mau melanjutkan sekolah jika mereka tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya,” tutur Retno.
(iam/ptj)