498 Tahun Jakarta Masih Memikat Para Pengejar Mimpi




Jakarta, Indonesia

Sudah dua bulan belakangan aktivitas Pratama (27) hanya makan dan tidur. Sesekali nongkrong. Ia juga kini lebih banyak menghabiskan waktu di kamar indekos kecilnya di kawasan padat penduduk Tebet, Jakarta Selatan.

“Habis dipecat karena enggak target, tiga bulan enggak ada mobil yang terjual,” kata Pratama kepada Indonesia.com, Rabu (18/6).

Pratama sebelumnya bekerja sebagai sales consultant di salah satu dealer di Jakarta. Pada April lalu, setelah bekerja sekitar setahun, ia terkena evaluasi dan dipecat.



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ini bukan pertama kalinya Pratama dipecat sepanjang perjalanan kerja di Jakarta.

Ia tiba di ibu kota pada 2016. Setelah tamat SMA di Batam, Kepulauan Riau dan sempat kursus bahasa Inggris di Pare, Pratama memberanikan diri merantau mencari kerja.





Jalan yang dipilih berbeda dengan mayoritas teman-teman SMA-nya yang kuliah.

Mikirnya waktu itu, wah, kota metropolitan, lowongan kerja banyak ini,” cerita dia.

Pekerjaan pertamanya adalah sopir taksi. Hanya bertahan lima hari. Ia tak kuat dengan macet Jakarta. Belum lagi kesulitan mencari penumpang karena saat itu belum ada aplikasi online.

Bekerja beberapa hari, ia kebanyakan nombok. Uang yang didapat tidak seberapa dan habis untuk membeli bensin. Aturannya saat itu, mobil harus kembali ke pool dalam keadaan full tank.

Ia beralih menjadi sales apartemen dengan gaji sekitar Rp1,5 juta. Saat itu, ia berhasil jualan dan mendapat komisi. Uang yang didapat dipakai untuk DP sepeda motor.

Untuk membayar angsuran sepeda motor setiap bulan, Pratama mengumpulkan uang dari menjadi pengemudi ojek online.

Dari 2017 hingga 2019, ia beralih menjadi sales di bidang otomotif. Pendapatannya naik sebesar UMR Jakarta. Pratama tetap menggunakan waktu pulang bekerja untuk jadi pengemudi ojek online.

“Badan sakit-sakit, banyak kena angin malam,” katanya.

Saat pandemi Covid-19, ia beralih menjadi sales perkakas. Tak bertahan lama, ia dipecat karena beberapa bulan tidak masuk kerja.

Pratama saat itu terinfeksi TBC. Ia hanya rebahan di indekos selama enam bulan. Tabungan terkuras, pemasukan tidak ada.

Ia mencoba bangkit setelah sembuh, Pratama kembali menjadi sales di bidang otomotif. Ia juga mencoba peruntungan dengan usaha berjualan bubur.

Puluhan juta uangnya digunakan untuk membeli peralatan, gerobak hingga membayar sewa tempat. Namun usahanya rungkad. Tapi, Pratama belum menyerah dengan Jakarta.

“Di Jakarta ini, asal kita mau keluar, pasti dapat uang,” ujarnya mengenang keyakinannya dulu.

Ia kembali ke pekerjaannya sebagai sales otomotif sejak 2023. Sempat pindah ke beberapa dealer. Ia dipecat dari pekerjaan April lalu. Kini, ia harus hidup lebih irit.

Setelah hampir sepuluh tahun mengadu nasib, ia melihat peluang baru keluar dari ibu kota.

“Di Jakarta masih nyari kerja. Tapi mau coba peluang baru di kota lain,” katanya.

Belasan kilometer dari indekos Pratama, Syafii (54) tengah selonjoran di dalam bajaj berkelir biru yang diparkir di Taman Sari, Jakarta Barat.

Sudah berjam-jam Syafii tidak dapat penumpang.

“Memang karena ada ojek online banyak pengaruhnya,” katanya.

Ia sudah menjadi sopir bajaj sejak 1990. Tahun itu juga ia merantau ke Jakarta dari Tegal, Jawa Tengah.

Awalnya, ia diajak kerabat di kampungnya untuk bekerja di restoran di Jakarta, Syafii tak berpikir dua kali karena di kampung ia tak bekerja. Sekolahnya pun hanya sampai SMP.

Angan-angan mendapat penghasilan dan hidup yang lebih baik sudah terbayang di benaknya. Namun, Ia tidak bertahan lama sebagai pelayan restoran.

Berbekal bajaj milik kerabat lainnya, ia belajar mengemudi hingga memilih profesi itu.

Semakin ke sini, pendapatan semakin kecil. Ia mengatakan uang yang didapat hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sekitar Rp100 ribu per hari.

“Terpaksa betah di Jakarta. Kalau di kampung ada usaha, saya juga pasti pilihnya di kampung,” katanya.

Pratama dan Syafii adalah dua perantau beda generasi yang memimpikan penghidupan layak di Jakarta.

Di usianya ke-498 tahun, hampir separuh milenium, Jakarta masih punya magnet yang mampu menarik masyarakat.

Pada 2025 ini saja, data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta mencatat ada sekitar 16.049 pendatang yang masuk Jakarta. Terdiri dari 7.962 jiwa perempuan dan 8.087 laki-laki.

Angka itu memang turun dari data pada periode yang sama pada 2024, dimana tercatat ada 16.207 pendatang ke Jakarta.

Dari total pendatang hingga Juni 2025 itu, sebanyak 3.752 di antaranya pendatang belum atau tidak bekerja. Mayoritas pendatang sebanyak 4.256 adalah pelajar/mahasiswa.

Sementara itu, berdasarkan hasil Long Form Sensus Penduduk 2020 (LF SP2020) terjadi trend menarik dalam angka migrasi risen neto di DKI Jakarta.

Angka migrasi risen neto adalah selisih antara jumlah migran masuk dan jumlah migran keluar dalam suatu wilayah dalam periode tertentu.

Hasil LF SP2020 menunjukkan DKI Jakarta mengalami fenomena angka migrasi neto risen antar provinsi terendah di Indonesia dibandingkan provinsi lainnya selama periode 2017-2022 dengan nilai minus 5,75.

Artinya, penduduk DKI Jakarta berkurang setidaknya 5 orang per 100 penduduk dalam periode 2017-2022 akibat migrasi.

Angka negatif juga menunjukkan lebih banyak penduduk yang meninggalkan DKI Jakarta dibandingkan jumlah penduduk yang datang dari wilayah lain ke DKI Jakarta.

Karakteristik migran masuk ke Jakarta hasil LF SP2020 cenderung pendidikan tinggi yaitu, SMA ke atas.

Sebagian besar migran berstatus kawin, menunjukkan banyak yang membawa keluarga atau mencari stabilitas keluarga di Jakarta.

Mayoritas migran adalah pekerja, dengan jasa-jasa sebagai lapangan pekerjaan utama.

Mengapa Jakarta masih jadi magnet bagi pendatang?

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat mengatakan Jakarta adalah pusat perekonomian. Tempat bertemunya aktivitas bisnis hingga perdagangan.

Menurutnya, status sebagai pusat perekonomian itu menjadi magnet yang tidak bisa dihindari bagi masyarakat yang bermimpi pekerjaan dan kehidupan layak.

Status pusat perekonomian juga tidak akan berubah meski ibu kota nanti pindah. Ia mencontohkan pengalaman Malaysia dengan Putrajaya dan Kuala Lumpur.

“Aktivitas perusahaan-perusahaan, sektor ekonomi, bisnis, perdagangan masih bertemu di Jakarta. Itu harus diakui menjadi harapan, ekspektasi, dan tujuan dari pencari kerja, pendatang dari berbagai daerah untuk mendapatkan kehidupan, pekerjaan yang layak,” kata Rakhmat.

Ia juga berpendapat selagi pemerintah tidak bisa membangun pusat-pusat perekonomian di luar Jakarta, maka masyarakat tetap akan lari ke Jakarta.

“Maka kalau pemerintah mau secara serius, konsisten untuk bisa melakukan transformasi pembangunan ekonomi, maka sebenarnya salah satunya adalah, mau tidak mau, dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jabodetabek,” kata Rakhmat.

Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia Rissalwan Lubis mengatakan meski secara kuantitatif terjadi penurunan tren pendatang ke Jakarta. Secara kualitatif, fenomena pendatang mengadu nasib di Jakarta masih terjadi.

Ia berpendapat penurunan terjadi di antaranya karena faktor infrastruktur dan moda transportasi yang semakin mudah diakses.

“Jadi orang berkecenderungan ngapain saya pindah ke Jakarta, saya bisa cuma kerja di Jakarta, tapi tetap bisa pulang ke Serang, bisa pulang ke Karawang misalnya gitu. Itu ada kecenderungan itu,” kata Rissalwan.

Sementara masih maraknya fenomena masyarakat mengadu nasib ke Jakarta, kata dia, tidak lepas dari adanya siklus ‘mewariskan’ bisnis.

Para pekerja informal yang sudah lebih dulu merantau di Jakarta, mewariskan usaha ke keluarga atau orang di kampung halaman. Orang-orang ini dibawa ke Jakarta.

“Jadi, yang senior nanti akhirnya diteruskan oleh anaknya, diteruskan lagi oleh cucunya dan seterusnya, dia diwariskan pekerjaan, jasa itu kepada kerabat atau bahkan ke keluarga terdekat, itu yang terjadi secara kualitatif di lapangan,” ujarnya.

Pemprov DKI Jakarta tak melarang masyarakat datang ke Jakarta. Pemprov juga tak menggelar operasi yustisi.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung hanya mengingatkan persaingan di Jakarta tidak mudah.

“Silakan kemudian mencari nafkah pekerjaan di Jakarta. Kita buka lebar tetapi persaingan di Jakarta juga tidak mudah,” kata Pramono beberapa waktu lalu.

(yoa/wis)


[Gambas:Video ]



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *