Pram Singgung Korupsi Sritex saat Peluncuran Nama Baru Bank Jakarta
Jakarta, Indonesia —
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyinggung kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit dari perbankan kepada PT Sritex saat agenda peresmian logo dan nama baru Bank DKI menjadi Bank Jakarta.
Pramono mengatakan logo dan nama baru Bank Jakarta diharapkan menjadi momentum untuk berbenah diri menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Saya sangat berkeinginan untuk Bank Jakarta mereformasi dirinya, memperbaiki akar-akarnya, dan tidak boleh terulang kembali sampai peristiwa yang terjadi seperti di Sritex. Enggak boleh lagi. Profesionalisme adalah menjadi kata kunci,” kata Pramono di Taman Literasi, Jakarta, Minggu (22/6).
Karenanya, Pramono meminta seluruh jajaran Bank Jakarta selalu melakukan pertimbangan secara matang dalam membuat keputusan.
“Check and balance menjadi kata kunci, sehingga memutuskan sesuatu harus prudent. Harus yakin. Tidak bisa dengan karena dilakukan lobi-lobi dan sebagainya,” ucap dia.
Lebih lanjut, Pramono kembali mengingatkan kepada seluruh jajaran Bank Jakarta untuk bekerja secara profesional dan transparan.
“Sebelum secara resmi Bank Jakarta ini nanti kita munculkan, saya sekali lagi menawarkan perhatian, jawablah dengan profesionalitas, kerja keras, transparansi,” ujarnya.
Kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit perbankan kepada PT Sritex menyeret Direktur Utama Bank DKI periode 2020 Zainuddin Mappa sebagai tersangka. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama Eks Dirut PT Sritex Iwan Setiawan Lukminto dan Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB periode 2020, Dicky Syahbandinata.
Kejagung menduga, pemberian kredit kepada PT Sritex dilakukan secara melawan hukum dan menyebabkan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp692,9 miliar dari total tagihan Rp3,5 triliun.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar menyebut kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp692 miliar.
Qohar menyebut nilai kerugian itu sesuai besaran kredit dari Bank DKI dan Bank BJB yang seharusnya digunakan sebagai modal kerja. Ia menjelaskan uang kredit yang seharusnya dipakai untuk modal kerja itu justru digunakan untuk membayar utang dan membeli aset non produktif.
“Tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya, yaitu untuk modal kerja tetapi disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif,” jelasnya.
(dis/wis)