Alasan Psikologis Orang Mudah Terpancing Ikut Tren Stiker ‘Add Yours’
Penggemar sosial media pasti tak asing dengan tren stiker ‘Add yours’ di Instagram.
Fitur ‘Add Yours’ milik Instagram membuat netizen ramai-ramai mengunggah gambar sesuai challenge atau tantangannya. Tantangan beragam mulai dari foto bersama pasangan, nama panggilan, jarak usia dengan pasangan, foto anak, nama anak, atau sesuatu yang disukai.
Sekilas memang terlihat biasa saja bahkan lucu. Tapi hati-hati karena ini bisa jadikan modus operandi orang-orang tidak bertanggung jawab. Warganet pun banyak berbagi cerita tentang penipuan yang dialami pascaunggahan stiker tersebut.
Ketika imbauan untuk tak mengikuti tren tersebut muncul lantaran beberapa penipuan yang terjadi, yang jadi pertanyaan adalah mengapa di awal banyak orang yang tergoda untuk secara tak langsung mengumbar data pribadinya di sosial media? Karena tren atau bahkan FOMO (fear of missing out)?
Psikolog Mira Amir menyebut salah satu mekanisme pertahanan (coping mechanism) saat stres adalah dukungan sosial. Media sosial memang salah satu alat untuk menghimpun dukungan.
“Orang Indonesia? Iya banget. Pasang status, curhat di status sampai detail. Orang Indonesia tuh memang kecenderungannya seperti itu. Ditambah kesadaran akan informasi pribadi rendah,” ujarnya.
Begitu ada tren termasuk ‘Add Yours’, orang tanpa sadar membagikan informasi pribadi. Namun jika mau ditarik lebih jauh, habitus berbagi di kalangan masyarakat Indonesia juga Asia disebabkan budaya komunal yang telah mengakar lama. Budaya komunal meletakkan komunitas atau kelompok di atas individu.
Masyarakat yang komunal akan saling tergantung satu sama lain (interdependensi). Seorang akan merasa diterima atau merasa layak saat sama dengan yang lain.
“Ada kebutuhan untuk saling berbagi, menjadi sama dengan yang lain,” imbuhnya.
Dari budaya komunal ini, orang kemudian merasa ada yang kurang atau salah dengan dirinya saat tidak melakukan seperti apa yang dilakukan orang lain. Tren ‘Add Yours’ di Instagram jadi sesuatu yang tidak bisa dilewatkan begitu saja sebab saat tidak mengikuti tren yang ada, orang takut tertinggal atau bahkan dianggap tidak ada. Ini umum dikenal dengan istilah fear of missing out (FOMO).
“Anak-anak sekarang itu FOMO-nya tinggi ya. Kalau dulu tidak ada yang begini. Rene Descartes (filsuf) ‘aku berpikir maka aku ada’ sekarang jadinya seperti ‘saya main medsos maka saya ada’,” ujar Mira disusul tawa.
Bahkan, lanjut Mira, orang secara tidak sadar memupuk FOMO sejak kecil. Apa Anda familiar dengan kata-kata orang tua seperti ‘Kamu kayak kakak kamu dong’ atau ‘Kok kamu enggak kayak anak lain?’
“Bahwa kita harus sama kayak orang lain. Kalau sama, perilaku kita diterima, kita dapet legitimasi sosial, tervalidasi,” imbuhnya.
(els/chs)