Burnout, ‘Wabah’ Dunia ‘Kerja dari Rumah’



Jakarta, Indonesia —

Manusia memang tak pernah puas. Dulu saat dunia disibukkan dengan kemacetan pagi hari demi ke kantor tepat waktu, banyak yang mengeluh sambil bertanya, tak bisakah bekerja dari rumah saja?

Kini sudah hampir dua tahun lamanya, para pekerja mendapat keinginannya untuk bekerja dari rumah, meskipun itu gara-gara pandemi.

Awalnya, kerja dari rumah pasti sesuai bayangan. Bisa sedikit santai, bisa sambil tidur-tiduran, pakai daster atau piyama, dan tak terjebak macet yang melelahkan. Senang? Pasti.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan mungkin masih terasa menyenangkan. Setelahnya? Panggilan meeting virtual yang bertubi-tubi, jam kerja yang makin tak terbatas, rentetan pesan teks soal pekerjaan yang tak kelar-kelar, ditambah berbagai urusan domestik di rumah yang juga harus diselesaikan. Pusing tujuh keliling.

Bos marah karena pesan teks tak ditanggapi sementara anak merengek minta ditemani main. Nyatanya buat sebagian orang, bekerja dari rumah tak seenak bayangan awal, makin tak ada waktu untuk bersantai, sebaliknya makin stres bahkan burnout. Tapi tentu saja, tetap ada orang yang justru bisa menemukan kedamaian dan kenikmatan bekerja di rumah.

Hustle culture

Pernah mendengar istilah ini? Sosial media beberapa waktu lalu menggemakan istilah ini. Tapi apa sebenarnya hustle culture?

Hustle culture adalah sebuah gaya hidup atau fenomena yang muncul karena perasaan gila kerja atau workaholic. orang dengan gaya hidup hustle culture merasa dirinya harus terus bekerja keras dan hanya perlu meluangkan sedikit waktu untuk istirahat. Tak heran hustle culture juga disebut gila kerja.

Dalam laman Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, orang yang punya kecenderungan gaya hidup ini akan beranggapan bahwa bekerja adalah jalan satu-satunya menuju kesuksesan. Jam kerja pun sering kali melebihi waktu normal, dan lembur sudah jadi jadwal wajib seminggu.

Psikolog dari Riliv, Graheta Rara Purwasono menyebut bahwa ada banyak hal pencetus hustle culture ini, termasuk tuntutan hidup, keinginan untuk punya uang lebih banyak, sampai quotes motivasi bekerja yang kerap disalahartikan. Hati-hati kalau sudah begini, bisa-bisa kena mental.

Hustle Culture alias si workaholic ini memang tak kenal tempat. Bahkan saat WFH, seringkali lembur dan kerja tanpa istirahat pun dilakukan demi menyelesaikan pekerjaannya, bahkan sampai kurang tidur, tak mandi, tak makan.

Jika terus begini, hustle culture bisa membuat Anda jadi stres, asam lambung naik, bahkan sampai burnout.

Burnout adalah kondisi saat seseorang merasa lelah berkepanjangan karena stres kerja yang berat. Burnout dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik seseorang.

“Dalam teorinya burnout itu keadaan lelah emosional, fisik dan mental. Orang mengalami stres berulang dan berkepanjangan. Kalau stresnya kronis, panjang, jadi burnout,” kata psikolog Firman Ramdhani pada Indonesia.com beberapa waktu lalu.

Berdasar survei sederhana yang dilakukan Indonesia.com melalui twitter bahkan menyebut 77,3 persen orang pernah burnout.

Apa saja yang jadi biang keroknya? Sekitar 46,7 persen menyebut keharusan standby alias siap siaga 24 jam untuk kerja, sekitar 38,7 persen menyebut banyaknya limpahan pekerjaan, dan 14,6 persen menyebut gara-gara meeting yang datang silih berganti.

Hanya saja yang harus disadari, tak semua orang punya gejala burnout yang sama. Ada yang kehilangan motivasi kerja, kurang semangat, mudah lelah, benci pekerjaannya, takut bekerja, sulit fokus, susah konsentrasi dan berujung pada performa kerja yang menurun.

Pertolongan pertama pada burnout


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *