Merindukan Hari-hari Tanpa ‘Burnout’



Jakarta, Indonesia —

Rumput tetangga biasanya selalu lebih hijau dari halaman sendiri. Pepatah ini tak cuma berlaku buat masalah keuangan, hubungan, keluarga, rumah, tapi juga soal pekerjaan dan kantor.

Lihat-lihat media sosial, banyak orang yang ‘memamerkan kantornya yang punya beragam fasilitas tak biasa untuk karyawan. Tak dimungkiri, ini bakal membuat orang jadi menimbang-nimbang dan melirik kekurangan kantornya sendiri. Ini memang tak salah, karena semua orang pasti punya kriteria kantor sempurnanya masing.

Coba sebut, apa saja kriteria kantor idaman Anda yang bakal bikin Anda betah bekerja di sana dalam jangka waktu lama? Cuti panjang? Gaji besar? Asuransi kesehatan plafon tinggi? Jenjang karier? Lingkungan kerja? Fasilitas mewah? Kantor tanpa bullying? Tentu saja semuanya mau itu.

Tapi pernahkah ada yang memikirkan soal kesejahteraan dan kesehatan mental di kantor? Anda tentu tak berpikir kalau dengan kantor yang menyenangkan dan bisa memenuhi semua keinginan, Anda bisa ongkang-ongkang kaki saja dan kerja ringan, makan siang, lalu pulang tenggo.

Di balik semua fasilitas yang didapatkan dari kantor pasti ada tuntutan pekerjaan dan target yang harus dicapai. Dari sinilah semua hal bisa berefek pada mental Anda, bukan cuma fisik.

Pekerjaan yang Anda lakukan setiap hari, interaksi dengan rekan kerja, bos, masalah di kantor, deadline pekerjaan bisa berdampak pada mental Anda. Disadari atau tidak.

Tumpukan pekerjaan yang berujung pada burnout dan depresi

Rata-rata setiap harinya, jam-jam hidup manusia dihabiskan untuk bekerja. Rumah terkadang hanya sebagai rumah kos yang dipakai sebagai tempat makan dan tidur, jarang sekali interaksi dengan keluarga. Interaksi saja jarang apalagi cerita dari hati ke hati soal apa yang terjadi hari ini.

Yang ada, pulang penuh rasa marah dan kesal. Hanya perkara makan malam berlauk tempe bisa bikin kesal setengah mati. Padahal saat diusut-usut, kerjaan kantor yang bikin keki, gara-gara kerja jadi burnout dan kemarahan melebar ke mana-mana.

Keesokan harinya, perasaan masih tak karuan, ke kantor pun malas, datang terlambat tak peduli, kerja seadanya, tak punya ide segar dan motivasi untuk bekerja baik. Hati-hati, jika merasakan ini, bisa jadi tanda-tanda kesehatan mental Anda mulai terganggu gara-gara burnout.

Bukan cuma itu, masalah mental yang dialami seorang karyawan bahkan juga kerap disebut sebagai aib. Oleh karenanya, banyak yang memilih untuk menyimpan rapat-rapat kondisi mentalnya yang sebenarnya sudah mulai terganggu. Stres kecil katanya, padahal setiap hari uring-uringan, sakit kepala, migrain, dan lainnya.

Karyawan atau pekerja kantor terbilang takut untuk mendiskusikan isu tersebut dengan rekan kerja apalagi dengan atasan. Mereka tidak ingin kehilangan pekerjaan, merusak hubungan atau tidak siap dinilai negatif oleh rekan kerja lainnya. Kalaupun bercerita, mereka juga harus siap kena cap atau stigma. Kata orang, mereka hanya lebai atau lemah.

Huffington Post pernah melaporkan bahwa sekitar 85 persen masalah atau kondisi mental karyawan di Amerika tidak terdiagnosa ataupun mendapat perawatan.

Perusahaan atau atasan sebenarnya memiliki banyak alasan untuk memerhatikan masalah mental karyawannya. Kondisi kesehatan mental karyawan dapat memengaruhi sebuah perusahaan untuk kehilangan US$100 juta hingga US$217 miliar per tahunnya.

Dengan mengetahui permasalahan kesehatan mental anak buahnya, atasan ataupun perusahaan dapat meningkatkan produktivitas ataupun retensi pegawai.

Ketika Nat ‘berteriak minta tolong’


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *