Regulasi Gemuk Bukan Alasan Abaikan Pedoman UU
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan obesitas regulasi dan tumpang tindih antar Undang-Undang tidak boleh menjadi alasan untuk mengenyampingkan tata cara atau pedoman baku yang berlaku untuk menyusun peraturan perundang-undangan.
Hal itu dinyatakan dalam pertimbangan putusan MK atas uji terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
“Mahkamah dapat memahami persoalan obesitas regulasi dan tumpang tindih antar-UU yang menjadi alasan pemerintah menggunakan metode omnibus law yang bertujuan untuk mengakselerasi investasi dan memperluas lapangan kerja di Indonesia,” ucap Hakim Konstitusi Suhartoyo yang membacakan pertimbangan hukum yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Kamis (24/11).
Meski demikian, kata dia, bukan berarti demi mencapai tujuan tersebut lantas dapat mengesampingkan tata cara atau pedoman baku yang berlaku.
“Karena tujuan dan cara, pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dalam meneguhkan prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional,” kata Suhartoyo membacakan pertimbangan mahkamah tersebut.
Oleh karena itu, majelis hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat. Dalam artian, MK memberi kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU Ciptaker tersebut selama 2 tahun berdasarkan tata cara pembentukan undang-undang yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku, dan standar di dalam membentuk undang-undang.
“Apabila dalam waktu dua tahun, UU 11/2020 tidak dilakukan perbaikan, Mahkamah menyatakan terhadap UU 11/2020 berakibat hukum menjadi inkonstitusional secara permanen,” katanya.
Adapun beberapa permasalahan dalam UU Cipta Kerja adalah kesalahan pengutipan pasal yang salah satunya pada Pasal 6 UU Cipta Kerja yang mengutip Pasal 5 ayat (1).
Dalam Pasal 5 tidak memuat kutipan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6, kemudian terdapat berbagai pergantian istilah, seperti ‘direktur’ menjadi ‘direksi’ pada halaman 390 Pasal 153D ayat (2) RUU Ciptaker yang dibandingkan dengan halaman 613 Pasal 153D ayat (2) UU Ciptaker, serta berbagai istilah lainnya.
Ketidaksesuaian tersebut membuktikan telah ada kesalahan pengutipan dalam merujuk pasal sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan asas “kejelasan rumusan” yang menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa umum yang jelas dan mudah dimengerti.
“Dengan demikian, tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya,” ucapnya.
(Antara/kid)