‘Saya Takut Kakak Pulang Tinggal Nama’
Jakarta, Indonesia —
Belakangan saya merasa hidup tak ada artinya lagi. Bayangkan, saya mampu bantu teman, bantu hewan yang terluka, tapi tidak dengan kakak saya sendiri.
Daya hidup kakak nyaris pudar akibat kekerasan domestik semenjak menikah atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Ida – bukan nama sebenarnya – adalah kakak saya satu-satunya. Buat sebagian keluarga suku Batak, memiliki anak laki-laki jadi suatu keutamaan dan kebanggaan, kendati kami berdua terlahir sebagai perempuan, cinta papa dan mama tak pernah kurang buat kami. Mereka bukan orang tua yang suka mengekang atau mengatur anak-anaknya. Buat mereka, yang penting anak bahagia dengan pilihannya, termasuk pasangan hidup.
Setelah lima tahun berpacaran, Kak Ida dan Kak Kris -bukan nama sebenarnya- memutuskan menikah. Sebelumnya, kami tidak ada obrolan mengenai rencana pernikahan. Sampai saat saya tahu, rencana pernikahan sudah matang dibicarakan berikut tanggalnya.
Pernikahan pun dilaksanakan pada Februari 2021.
Hanya saja, jelang pernikahan, saya mencium gelagat-gelagat tidak beres. Mulai dari Kak Ida yang diperlakukan tidak semestinya, seperti disuruh turun dari mobil hanya karena cekcok dengan calon suami, hingga sikap keluarga calon besan yang membikin saya jengkel.
Pada H-2 bulan jelang pernikahan, Kak Ida cekcok dengan calon suaminya. Pertengkaran membuat Kak Ida diusir dan diperintah untuk turun dari mobil. Cekcok wajar saja jelang pernikahan, tapi apakah sampai harus diturunkan dari mobil?
Saat pernikahan semakin dekat, gelagat keluarga Kak Kris semakin tidak beres. Mereka menilai keluarga kami sombong karena bergaya tidak sesuai dengan apa yang kami punya. Belum pernah bertemu pun, saya sudah dicap sombong.
Pada akhirnya, pernikahan tetap terjadi. Dari sini ‘neraka’ yang sebenarnya dimulai.
|
Neraka rumah tangga
Setelah sah jadi istri, Kak Ida tinggal bersama mertua dan iparnya. Sedangkan Kak Kris dinas ke luar negeri. Saya yang terbiasa dengannya sejak orok harus beradaptasi dan kembali fokus dengan studi.
Namun rasanya aneh, kok dia tidak pernah mengunjungi kami? Sudah hampir sebulan lho!
Kala itu, mama cuma menghibur saya dengan berkata biasanya orang yang baru menikah itu perlu adaptasi apalagi tinggal bersama mertua.
Baru pada April lalu, saya tahu dari orang tua kalau kondisi Kak Ida tidak baik-baik saja.
Dia diperlakukan bak asisten rumah tangga, didera dengan kata-kata kasar, hingga dilarang bergaul. Suami Kak Ida tak menafkahi istrinya, apalagi membela istrinya. Dia bahkan tak pernah ada di rumah. Suami yang seharusnya jadi tempat berlindung istri, malah justru tak pernah ada di sisinya. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, mertua kak Ida melarangnya bercerai dengan Kak Kris, apapun kondisinya.
Untuk menjamin Kak Ida tak kabur dari rumah mertuanya dan bertindak macam-macam, mereka memaksa kakak untuk tanda tangan surat perjanjian. Pun ada video yang memperlihatkan Kak Ida menangis saat dipaksa tanda tangan surat perjanjian. Surat perjanjian itu berisi jika dia berani menemui orang tua kami, anak yang dikandungnya (saat itu) akan diambil paksa. Ini artinya, Kak Ida tak akan bisa menemui anaknya sendiri, yang sudah dikandung 9 bulan dan dilahirkan dengan taruhan nyawanya sendiri.
Saya tak habis pikir, tapi saya berusaha mencerna cerita papa dan mama.
Hanya saja, saya ingin mendengar langsung dari mulut Kak Ida. Dia membenarkan. ‘Iya, tapi doain aja aku’, begitu dia bilang.
Baca cerita selanjutnya di halaman berikut.
Pulang, Kak…