Maju Mundur Pengesahan RUU Kekerasan Seksual di Tangan DPR
Jakarta, Indonesia —
Perjuangan kelompok masyarakat sipil, terutama aktivis pemerhati hak-hak perempuan, dalam mendorong lahirnya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menempuh jalan terjal selama bertahun-tahun.
RUU ini merespons kasus kekerasan seksual yang semakin banyak terjadi. Komnas Perempuan bersama dua lembaga sipil lainnya, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan Forum Pengada Layanan, membujuk DPR agar membuat payung hukum mengenai kekerasan seksual sejak 2012.
Namun selama empat tahun, DPR bergeming. Pada Mei 2016, parlemen baru meminta Komnas Perempuan menyerahkan naskah akademik rancangan undang-undang itu.
Pada bulan itu juga Panitia Kerja (Panja) DPR menyepakati RUU PKS masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016.
“Kami menyepakati RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai RUU yang memiliki urgensi untuk dimasukkan dalam perubahan Prolegnas,” kata Wakil Ketua Baleg Totok Daryanto, 25 Mei 2016.
Digantung dan Dituding Legalkan Zina
Masuk daftar program prioritas tidak lantas membuat RUU itu segera disahkan. Selama empat tahun kemudian, nasib RUU itu masih saja menggantung.
Pembahasan RUU PKS sempat ditunda hingga mengundang protes dari Komnas Perempuan. Mereka menyesalkan penundaan pembahasan RUU itu.
Padahal, menurut Komnas Perempuan, RUU ini menjadi janji yang digadang-gadang semua calon presiden, partai pengusung, maupun sejumlah calon anggota parlemen di tingkat nasional maupun daerah.
Dalam periode tersebut, pembahasan RUU PKS ditentang sebagian kelompok masyarakat, terutama yang berafiliasi dengan ormas keagamaan oposisi akibat serangan hoaks legalisasi zina dan LGBT pada 2019.
Pernyataan serupa, salah satunya dilontarkan oleh pedangdut legendaris, Rhoma Irama. Saat berpidato dalam kampanye Capres Prabowo-Sandiaga di Surabaya, Jawa Timur, ia menyebut muatan RUU PKS membolehkan zina dan LGBT.
“Sekarang ini di DPR ada RUU PKS yang artinya perlindungan terhadap kekerasan seksual,” kata Rhoma kepada para peserta kampanye, 31 Maret 2019.
“Mau tahu isinya? Selama suka sama suka, artinya laki-laki boleh berzina dengan perempuan. Selama suka sama suka bahkan laki-laki boleh kawin sama laki-laki,” ujar Ketua Umum Partai Idaman ini.
Alih-alih disahkan, Komisi VIII DPR justru mencabut RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020. Keputusan ini mengundang protes dari kelompok masyarakat, termasuk beberapa fraksi di DPR, yakni Nasdem, Golkar, dan PDI Perjuangan. Fraksi Nasdem mengaku kecewa dengan keputusan itu.
Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Nasdem di Baleg DPR, Taufik Basari menyatakan pihaknya siap mengambil alih pengusulan RUU PKS.
“Kami harap dukungan fraksi-fraksi lain agar di paripurna kita bisa lakukan penyesuaian terhadap prolegnas ini agar RUU yang memang sudah jadi amanah bagi kita melanjutkannya, bisa kita lakukan kembali,” ujar Taufik.
Guru Besar Kajian Gender dan Studi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Nina Nurmila membeberkan penyebab RUU PKS sukar disahkan.
Nina mengatakan penolakan terhadap RUU PKS dilakukan oleh kelompok konservatif yang masih menganggap RUU itu melegalkan perzinaan. Menurutnya, mereka begitu militan dan piawai menggunakan media sosial dan menyebarkan hoaks guna membangun wacana tandingan RUU PKS.
“Mereka juga merekrut anak muda, mempengaruhi mereka dan melakukan kontra narasi dengan menggunakan berbagai media untuk menentang ide-ide progresif,” kata Nina, Jumat 11 Desember 2020 lalu.
Setelah diprotes banyak pihak, DPR kembali memasukkan RUU PKS ke daftar Prolegnas Prioritas 2021. Meski demikian, upaya perlawanan terhadap RUU PKS ini terus terjadi.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyebut isi RUU PKS tidak dibangun dari nilai-nilai agama.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari F-PKS Bukhori Yusuf mengatakan lembaga yang paling memiliki kredibilitas mengatur persoalan seksualitas adalah agama.
“Saya tidak mendengarkan logika yang dibangun dari nilai-nilai agama yang dijadikan basic berpikir dalam mengonstruksikan pikiran serta RUU ini,” kata Bukhori dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR dengan Komnas Perempuan di Senayan, Jakarta, Senin (29/3).
|
Setelah Ganti Nama RUU TPKS, Hilang 85 Pasal