11 Anak Perempuan Dipaksa Kirim Video Asusila, Modus Diamond Free Fire
S (21) disebut memaksa sejumlah anak perempuan di bawah umur mengirimkan video asusila dengan iming-iming top-up sekaligus mengancam penghapusan game daring Free Fire.
Usai menangkapnya di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, polisi menyebut ada 11 anak umur 9-17 tahun yang diduga menjadi korbannya.
“Pada hari Sabtu tanggal 9 Oktober 2021 di Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau, Kaltim sekitar jam 19.40 Wita, penyidik berhasil menangkap tersangka S,” ujar Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Kombes Reinhard Hutagaol, di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (30/11).
Kasus ini, kata dia, bermula dari laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ke polisi terkait dugaan konten negatif yang dialami oleh seorang korban. Bareskrim lantas menindaklanjuti aduan itu dengan membuat laporan polisi (LP) pada 22 September 2021.
Reinhard mengatakan bahwa KPAI Agustus 2021 menerima laporan bahwa ada orang tua yang mengecek ponsel anaknya berinisial D (9). Namun, sang anak merasa gugup tidak memberi izin orang tuanya untuk mengecek HP-nya.
Kecurigaan itu membuat orang tua korban memeriksa gawai milik sang anak hingga menemukan video porno. “Setelah ditanya kepada si anak, D mengaku video tersebut dikirim oleh teman main game-nya bernama Reza,” kata dia.
Dari HP korban, ditemukan juga percakapan via aplikasi WhatsApp dan hasil video porno yang telah dihapus oleh korban.
Setelah ditelusuri, penyebaran video porno itu dilakukan usai korban berkenalan dengan tersangka pertama kali melalui game online Free Fire.
Keduanya melanjutkan komunikasi hingga tersangka meminta agar korban mengirimkan video tak senonoh pribadinya. Ia mengiming-imingi akan memberikan diamond kepada korban.
Di game online Free Fire, dan lazim ditemukan pada game daring lainnya, diamond merupakan alat tukar premium yang berfungsi mengoptimalkan tampilan dan performa pemain yang bisa digunakan untuk membeli karakter, memperkuat senjata, dan mendapatkan item ekslusif di Free Fire.
“Kemudian tersangka mengirimkan contoh video porno kepada korban dan minta korban untuk mengirimkan foto dan video porno (telanjang). Jika korban mau diberi diamond sebanyak 500-600 (seharga Rp 100 ribu),” ucap dia.
Korban, menurut Reinhard, sempat menolak permintaan yang dilayangkan oleh tersangka. Hanya saja, ia diancam bahwa akun gamenya akan dihapus apabila tak menuruti kemauan tersangka.
“Sehingga korban menuruti kemauan tersangka,” jelas Reinhadd.
Selain itu, tersangka juga memaksa korban untuk melakukan video call sex (VCS) dengan janji akan diberikan diamond.
Reinhard menyebut S melakukan pelecehan seksual untuk kepentingan pribadinya. Polisi, kata dia, belum menemukan jejak dugaan penjualan video porno atau pun keterkaitan dengan sindikat prostitusi.
“[Korban] 11 anak perempuan, umur 9-17 tahun, yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. 4 anak sudah ditemukan dan sudah dilakukan pemeriksaan, 7 anak belum ditemukan identitasnya,” tandasnya.
|
Para tersangka dijerat Pasal 82 Jo Pasal 76 E UU Perlindungan Anak dan/atau Pasal 29 Jo Pasal 4 Ayat (1); dan/atau Pasal 37 UU Pornografi; dan/atau Pasal 45 Ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik. S pun terancam hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda Rp 6 miliar.
Sebelumnya, pelecehan seksual dengan modus iming-iming top-up game online juga dilakukan oleh pria berinisial FM terhadap belasan anak di bawah umur di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Azis Andriansyah mengatakan pelaku telah melakukan aksinya sejak Desember 2020. Total, ada 14 anak laki-laki berusia 7-11 tahun yang menjadi korban.
“Dia (pelaku) ajak game online anak-anak yang masih belajar daring, kemudian mulai diming-imingin untuk lampiaskan nafsu,” kata Azis dalam konferensi pers, Rabu (17/11).
Azis menyebut aksi pencabulan tak hanya terjadi satu kali, tapi hingga belasan kali. Bahkan, kata dia, pelaku juga mempertontonkan video tak senonoh kepada korban. Akibatnya, ada korban yang mengalami gangguan psikologis.
“Anak-anak tersebut mulai gangguan psikologis, ada yang mungkin mulai tertarik sesama jenis,” ucap Azis.
Kepada penyidik, pelaku yang berprofesi membuka kursus bahasa Inggris ini mengaku memiliki trauma masa lalu karena pernah menjadi korban.
(mjo/dis/arh)