Keluh Kesah Pelajar RI usai Jepang ‘Tutup Pintu’ Lagi karena Omicron



Jakarta, Indonesia —

Salah satu mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Jepang, membeberkan keluh kesah mulai dari perbedaan waktu belajar hingga antre visa selama menjalani kuliah daring.

Kara, bukan nama sebenarnya, belum bisa berangkat ke Jepang menyusul pemberlakuan perbatasan yang diterapkan pemerintah Negeri Sakura.

Pemerintah Jepang kembali menutup gerbang internasional bagi pengunjung asing mulai 30 November. Kebijakan itu dilakukan untuk mencegah penyebaran varian Omicron, yang disebut lebih menular dari varian Delta.

Kebijakan pelarangan warga asing itu berdampak bagi Kara. Ia terpaksa menunggu sampai Jepang membuka kembali perbatasan.

Kara merupakan mahasiswa Universitas Hollywood Tokyo. Ia resmi menjadi bagian dari kampus tersebut pada Agustus 2020.

“Dari 2020 sudah ingin ke Jepang. Jadi ikut mata kuliah persiapan dulu, lalu masuk ke kampus itu. Harusnya masuk Agustus 2020, tapi karena Covid-19 kan ditutup,” ujar Kara saat dihubungi Indonesia.com, Rabu (1/12) malam.

Selama kuliah berbasis daring di Jakarta, Kara mengaku kewalahan menyiasati perbedaan waktu antara Jepang dan Indonesia, yang selisih dua jam.

Ia menuturkan jika ada tugas, harus dikumpulkan lebih awal. Pun, kalau ada kuliah pukul 09.00 pagi waktu setempat, Kara harus sudah siap-siap bangun lebih awal dan mulai kuliah 6.30 pagi.

“Untuk masalah sekolah jadi bingung sama deadline (tugas). Hari ini (deadline) jam 00.00 tapi berarti hari ini jam 22.00 sudah dikumpulkan,” ujar Kara.

Sebelum menginjakkan kaki di Negeri Sakura, kampus tempat Kara kuliah itu memberikan pelajaran hal-hal terkait Jepang atau pre-course selama enam bulan. Mulai bahasa Jepang hingga penggunaan transportasi publik. Usai menjalani pre-course ia mendapat Certificate of Eligibility (CoE).

CoE adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pihak berwenang Jepang sebagai tanda bahwa orang asing boleh memasuki Jepang sesuai dengan tujuan.

Namun karena penutupan perbatasan, ilmu yang didapat Kara tak bisa diaplikasikan secara maksimal. Mestinya, ia sudah terbiasa menggunakan bahasa Jepang, sayangnya yang terjadi tidak demikian.

“Karena online juga dan sekolah pakai bahasa Jepang, komunikasinya juga susah, yang harusnya bisa mengobrol pakai bahasa Jepang jadi enggak bisa,” lanjut Kara.

Di sisi lain, menurutnya beberapa orang Jepang juga kesulitan berbahasa Inggris.

Selain perkara akademis dan penutupan, hal lain yang menghambat keberangkatan Kara adalah antrian saat pembuatan visa.

Pembuatan visa tak bisa dilakukan setiap hari dan hanya di waktu tertentu. Beberapa kali ia mencoba mengajukan visa namun kuota kerap penuh.

Sebelumnya, pada awal Desember 2020 lalu, ia nyaris menghirup udara Jepang dan bisa memandang langsung bunga sakura berjatuhan. Namun di akhir bulan, Tokyo memutuskan menutup lagi perbatasan.

Padahal, Kara sudah menyiapkan visa dan keperluan lain, juga sudah menyewa apartemen.

Oktober lalu, Jepang membuka perbatasan bagi pendatang yang divaksinasi. Namun, saat itu Kara tak bisa langsung membuat visa karena perlu melampirkan surat Shinsa zumi-sho atau sertifikat skrinning.

Shinsa zumi-sho harus diurus oleh pihak Accepting Organisations (AO) dalam hal ini perusahaan pemberi kerja bagi yang ingin bekerja, dan pihak sekolah jika untuk studi, ke kementerian terkait yang berada di Jepang.

Setelah Shinsa zumi-sho terbit, barulah mereka bisa mengajukan visa dengan melampirkan surat tersebut beserta dokumen lain yang diperlukan untuk pengajuan tersebut.

Untuk kasus Kara, surat Shinsa zumi-sho didapat dari pihak kampus bagi mahasiswa internasional. Ia tak menyangka bahwa untuk mengantongi Shinsa zumi-sho harus mengantre.

“Aku kira minta surat tuh cepet kan ternyata dijatah gitu,” tutur Kara.

Sebelum bisa mendapat surat Shinsa zumi-sho itu, mahasiswa asing Jepang harus mengantongi CoE. Kara mendapat CoE dari kampusnya pada Juni 2020 lalu usai pre-course. Namun, karena diduga banyaknya antrean, Pemerintah Jepang hanya mengeluarkan Shinsa zumi-sho untuk CoE dari Januari-April.

“Jadi beruntun gitu, antrean. Jadi kita harus menunggu,” imbuhnya.

Kisah pelajar RI lainnya yang kuliah di Jepang, baca halaman berikutnya…


Cerita WNI Pelajar Universitas Kyoto Pernah Belajar dari Rumah


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *