Ahli Khawatir RIbuan Spesies Botani Raib Imbas Food Estate Papua




Jakarta, Indonesia

Proyek Food Estate di Merauke, Papua, mengundang kecemasan berbagai kalangan pemerhati lingkungan dan ilmuwan. Salah satu yang menjadi kekhawatiran adalah hilangnya ribuan spesies botani di wilayah tersebut.

Proyek ini menargetkan wilayah seluas sekitar 2,5 juta hektar atau sekitar 70 kali luas Jakarta. Proyek dengan perkiraan anggaran senilai lebih dari Rp83 triliun ini dicita-citakan akan menciptakan swasembada beras, gula dan bioetanol bagi Indonesia. 

Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran besar terhadap proyek garapan pemerintah ini. Sebab, kawasan target ini sebagian besar merupakan hutan rawa sekunder, semak belukar, dan ekosistem sabana, yang merupakan rumah ribuan mungkin puluhan ribu spesies flora dan fauna, sebagian besar diantaranya belum dipetakan identitas botaninya akibat kurangnya kegiatan ilmiah penelitian dan eksplorasi.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pegiat konservasi telah memperingatkan habitat-habitat ini berisiko hilang jika proyek berjalan sesuai rencana awal. Konversi ekosistem menjadi lahan pertanian padi dan tebu ini kemungkinan besar akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati secara signifikan, karena banyak spesies bergantung pada habitat tersebut untuk bertahan hidup.

“Pulau Papua memiliki tingkat endemisitas tumbuhan yang sangat tinggi. Sekitar 68% (9.301 spesies) tumbuhan yang ada di Pulau Papua adalah endemik. Hal tersebut menjadikan Pulau Papua sebagai satu-satunya botanical region di Indonesia dengan jumlah spesies tumbuhan endemik yang lebih besar dibandingkan jumlah tumbuhan non-endemiknya,” kata Destario Metusala, ahli botani BRIN yang fokus pada penelitian anggrek asli Indonesia kepada Indonesia.com beberapa waktu lalu.

“Bahkan untuk kelompok anggrek, Pulau Papua memiliki setidaknya 2.464 spesies anggrek endemik yang tidak dapat ditemukan di tempat lainnya di dunia,” lanjut dia. 

Risiko hilang selamanya

Begitu besarnya kawasan Papua yang miskin eksplorasi, membuat para peneliti memprediksi, pada 50 tahun ke depan, sekitar 3000-4000 spesies tumbuhan baru masih akan ditemukan dari Pulau Papua.

“Dapat dibayangkan apabila terjadi perubahan jutaan hektar hutan alami untuk menjadi perkebunan monokultur – seperti misalnya, sawit. Tentu hal ini berpotensi mengancam keberadaan ribuan keanekaragaman hayati yang ada di hutan, baik yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal dunia ilmu pengetahuan,” jelas Destario.

“Padahal sekitar 68 persen spesies tumbuhan di Pulau Papua adalah endemik dan banyak diantaranya yang habitatnya relatif sempit. Artinya, sekali spesies tumbuhan tersebut punah, maka tidak akan pernah dapat ditemukan kembali di berbagai tempat lain di dunia,” tambah dia.

Di Papua beragam spesies tumbuhan alami, termasuk berbagai spesies anggrek, dimanfaatkan langsung oleh masyarakat adat setempat dan sangat berkaitan erat dengan kearifan tradisi lokal. Destario mendesak rencana proyek alih fungsi kawasan hutan alami apapun agar mempertimbangkan kajian ilmiah biodiversitas dengan matang. Kesalahan dalam strategi eksploitasi alam ini akan memberi dampak negatif yang fatal secara permanen hingga ekosistemnya tak dapat dipulihkan kembali selamanya.

Proyek ini bukan yang pertama dieksekusi di Merauke. Tahun 2010, di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, proyek sejenis bernama Merauke Food Integrated Energy Estate (MFIEE) lahan seluas 1,2 juta hektar dibuka untuk pembukaan lahan padi, tebu dan jagung.

Proyek ini berakhir gagal karena berbagai alasan termasuk biaya tinggi akibat legalitas pemanfaatan lahan, infrastruktur yang minim serta ketidaksesuaian lahan untuk pertanian.

(dsf/dmi)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *